REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Pemerintah memberikan pepesan kosong kepada masyarakat soal janji mengumumkan merek susu formula tercemar Enterobacter sakazakii. Sampai hari yang dijanjikan, Rabu (23/2), Menteri Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) tetap bungkam.
Bagaimana IPB menyikapi desakan masyarakat untuk mempublikasikan hasil penelitian ilmuwannya itu? Berikut wawancara dengan Rektor IPB, Herry Suhardiyanto:
Ada tekanan pihak luar sehingga IPB tidak mengumumkan merek susu formula yang tercemar bakteri?
IPB tetap melakukan penelitian secara bebas dan independen. Terlalu rendah bagi IPB untuk menyerahkan otonomi keilmuwan kepada pihak luar. Terlalu rendah bagi IPB untuk menyerahkan diri sebagai lembaga pendidikan yang independen. Tidak ada ancaman dari mana-mana.
Pelitian IPB pada 2003-2006 yang hasilnya menemukan susu formula dan makanan bayi yang tercemar Enterobacter sakazakii, sebenarnya memiliki tujuan apa?
Itu adalah penelitian isolasi untuk uji virulensi atau mengindentifikasi potensi bahaya Enterobacter sakazakii yang terdapat dalam susu formula. Bukan penelitian surveilens (pengawasan). Jadi, kita mencari bakteri lalu membiakkan dan mengkaji virulensinya.
Jika penelitian isolasi, sampel yang diambil hanya beberapa saja, yaitu 22 sampel susu formula yang lima di antaranya positif tercemar Enterobacter sakazakii. Lalu 24 sampel makanan bayi, yang enam di antaranya positif. Jika penelitian pengawasan, sampel harus diambil semua.
Apakah hasil penelitian isolasi ini bisa dipublikasikan?
IPB menjunjung tinggi prinsip keadilan, maka wajib untuk mempublikasikan hasil penelitian. Penelitian isolasi bukan untuk menyimpulkan sesuatu, tapi untuk mengetahui dampak. Beda dengan penelitian pengawasan.
Intinya, jangan melakukan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Jika penelitian ini digunakan untuk menyimpulkan sesuatu, maka tidak pada tempatnya.
Tapi yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah nama merek atau sampel penelitian untuk mengetahui susu formula mana yang tercemar bakteri. Kenapa tidak diumumkan?
Sudah menjadi etika internasional untuk tidak menyebutkan nama merek dagang dari sampel yang diteliti. Karena itu, IPB belum bisa mengumumkan nama-nama susu formula karena melanggar etika penelitian internasional.
Tapi sudah ada putusan MA yang mewajibkan salah satunya IPB sebagai lembaga yang meneliti untuk mengumumkan. Bagaimana IPB menyikapi ini?
Saat ini IPB dalam posisi dilematis. Kami taat hukum tapi tetap menjunjung tinggi etika internasional.
Hingga saat ini kami juga belum menerima relaas (bukti penerimaan) amar putusan MA. Putusan adalah tindakkan hukum. Mengumumkan juga adalah tindakan hukum. Kami belum bisa mengambil langkah sebelum terima relaas.
Tapi bukan berarti kami tidak berbuat apa-apa. Saat ini kami sudah menyiapkan beberapa opsi. Tentu masih ada banyak kemungkinan. Mungkin saja ada pihak yang keberatan jika kita mengumumkan.Tapi tidak menutup kemungkinan ada opsi lain seperti mengajukan peninjauan kembali (PK) putusan MA.
Jika IPB melakukan opsi PK terhadap putusan MA, kewajiban untuk mengumumkan tetap berjalan. Bagaimana?
Iya. Opsi untuk melakukan upaya hukum lainnya memang tidak menunda eksekusi. Kami masih memikirkan dan sedang menginventarisasi pilihan-pilihan apa yang akan dilakukan. Tapi saat ini pilihan-pilihan ini belum bisa saya utarakan. Masih dibicarakan.
Ada tudingan bahwa penelitian didukung oleh pihak Jerman?
Untuk menguji virulensi dari Enterobacter sakazakii harus menggunakan alat yang belum dimiliki oleh Indonesia. Sehingga kami bekerja sama dengan peneliti-peneliti Jerman untuk melakukan penelitian isolasi ini.
Lalu IPB akan membawa penelitian ini ke mana?
Penelitian ini adalah penelitian bagus dengan hasil yang bisa mendorong dunia untuk memahami bahwa Enterobacter sakazakii adalah virus yang penting untuk mendapatkan perhatian. Saat penelitian belum ada peraturan dari World Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) tentang pelarangan cemaran Enterobacter sakazakii dalam susu formula.
Penelitian ini termasuk mendorong dikeluarkannya codex WHO pada pertengahan 2008. Isinya mewajibkan bagi produsen susu untuk menghasilkan produk susu yang bebas dari cemaran Enterobacter sakazakii.
Saat ini penelitian masih berkompetisi dengan penelitian lain untuk bisa mendapatkan dana agar bisa dilanjutkan. Dana sifatnya kompetitif, bisa saja dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau pihak lain.