REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk susu balita kini berkembang menjadi bisnis global bernilai miliaran dolar AS. Berbagai produk dipasarkan dengan klaim dapat meningkatkan perkembangan otak anak atau fungsi kekebalan tubuh, membuat para orang tua tidak ragu membelinya.
Dikutip dari laman Fox News, Selasa (23/4/2024), American Academy of Pediatrics (AAP) telah memperingatkan dalam laporan yang dirilis pada Oktober 2023 bahwa susu balita sebenarnya tidak diperlukan. Bahkan, produk itu bisa berpotensi berbahaya bagi anak kecil.
Apa bahayanya? Menurut AAP, 80 persen susu balita yang ada di pasaran memiliki kandungan gula lebih tinggi dibandingkan susu murni dan 100 persen produk yang ditinjau memiliki lebih sedikit protein. Balita tidak seharusnya mengonsumsi makanan olahan, juga tidak disarankan terpapar asupan garam dan gula berlebih.
"Untuk balita sehat tanpa diagnosis medis tertentu, tidak ada bukti kebutuhan atau manfaat susu balita," ujar ahli neonatologi dan direktur pemberian makan, nutrisi, dan perkembangan bayi di Pediatrix Medical Group di Tampa, Florida, Amerika Serikat, Jenelle Ferry.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyebutkan bahwa sebagian besar bayi di AS menerima sebagian atau seluruh nutrisinya dari susu formula. Susu formula bayi standar dapat dilengkapi dengan makanan padat yang sesuai pada usia sekitar empat hingga enam bulan.
Susu formula bayi diatur berdasarkan Undang-Undang Formula Bayi, yang mengharuskan produk tersebut memenuhi persyaratan nutrisi bagi bayi hingga usia 12 bulan pertama. Jika produk susu formula ditujukan untuk bayi berusia kurang dari 12 bulan, produk tersebut harus mematuhi peraturan susu formula bayi FDA serta semua peraturan makanan lain yang berlaku.
Berdasarkan laporan penelitian NYU College of Global Public Health, terdapat dua jenis susu balita yang beredar di pasaran. Pertama, susu formula transisi untuk bayi dan balita berusia sembilan bulan hingga 24 bulan, serta susu balita untuk usia 12 bulan hingga 36 bulan.