REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Komisi II DPR akan mempertimbangkan usulan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum untuk mengubah komposisi Dewan Kehormatan, mekanisme pemeriksaan, dan sanksi pelanggaran kode etik yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.
"Dalam upaya membangun kepercayaan publik kepada KPU, Komisi II DPR mempertimbangkan perlu perubahan komposisi Dewan Kehormatan dan perbaikan mekanisme pemeriksaan dan pengaturan sanksi terhadap penyelenggara pemilu," kata Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap, di Jakarta, Selasa, mengutip kesimpulan hasil rapat Komisi II.
Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Dewan Kehormatan KPU yang juga dihadiri KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Rapat tersebut membahas tentang pemberhentian Andi Nurpati.
Di sela-sela rapat, Ketua Dewan Kehormatan KPU Jimly Asshiddiqie melontarkan usulan perbaikan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya poin yang mengatur tentang komposisi Dewan Kehormatan, mekanisme pemeriksaan, dan sanksi bagi KPU.
"Komposisi Dewan Kehormatan hendaknya dari luar harus lebih banyak supaya tingkat independesi dan tingkat eksternalitas pengawasnnya lebih efektif," katanya.
Dalam UU 22/2007, susunan Dewan Kehormatan diatur dengan komposisi tiga dari anggota KPU dan dua dari luar KPU.
Jimly mengusulkan agar ke depan komposisi ini diubah dengan memberikan porsi lebih banyak bagi pihak dari luar KPU untuk duduk dalam Dewan Kehormatan. Soal mekanisme pemeriksaan atau tata beracara, Jimly mengatakan harus ada standar yang jelas. "Tata beracara ini harus diatur secara khusus," ujarnya.
Soal sanksi bagi anggota KPU karena melanggar kode etik, dia mengatakan perlu memerinci, seperti peringatan yang bersifat pribadi, peringatan terbuka, skors (pemberhentian sementara), pemberhentian tetap, dan pemberhentian dengan tidak hormat.
Sebelumnya, dalam UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu tidak mencantumkan klausul pemberhentian tidak hormat.