REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Timur menerima 17 kasus sengketa informasi selama enam bulan terakhir sejak lembaga tersebut dibentuk pada 14 Mei 2010. "Sebanyak 17 laporan yang kami terima itu layak dan memenuhi syarat sebagai sengketa informasi yang wajib ditindaklanjuti sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik," kata Ketua KIP Jatim Joko Tetuko di Surabaya, Kamis.
Dari 17 kasus itu, kata dia, sebanyak enam kasus di antaranya dilimpahkan ke Komisi Informasi Pusat, sedangkan 11 kasus sisanya ditangani sendiri oleh KIP Jatim. Menariknya, lanjut dia, 17 kasus sengketa informasi itu terjadi di Kabupaten Sumenep yang dilaporkan oleh lembaga swadaya masyarakat, Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak).
"Selain soal APBD Kabupaten Sumenep periode 2007-2010, LSM itu juga melaporkan ketertutupan informasi di sejumlah SKPD (satuan kerja perangkat daerah) setempat," kata Joko dalam seminar tentang UU KIP di gedung PWI Jatim itu.
Ia menganggap kasus sengketa informasi yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan oleh ketertutupan pemerintah dan badan publik.
"Selain itu di daerah-daerah juga belum terbentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Kalau pun ada, belum memenuhi Standar Layanan Informasi (SLI)," katanya menambahkan.
Terkait pernyataan peserta seminar bahwa dengan semakin banyaknya kasus sengketa informasi menunjukkan bahwa kinerja KIP Jatim belum maksimal, Joko menampiknya. "Justru dengan anggaran dan fasilitas yang minim ini kami telah melakukan pekerjaan maksimal. Dalam APBD 2010 kami mendapatkan alokasi Rp 1,25 miliar, tapi baru terserap Rp122 juta ditambah Rp56 juta," kata Wakil Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim itu.
Bahkan dia dan empat anggota KIP Jatim belum menerima honor sebagai komisioner selama periode Mei-Oktober 2010.
"Kami berangkat Rakornas ke Batam pun menggunakan uang patungan," katanya.
Selama ini KIP Jatim masih menumpang di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika Jatim, Jalan Rajawali, Surabaya. "Tapi, kami sudah diperintahkan untuk pindah karena tidak boleh lembaga independen seperti kami ini berkantor di badan publik," kata Joko.