Selasa 18 Jan 2011 20:43 WIB
Trending News

Meski Rawan Wedus Gembel, Ngotot Bangun Lagi Rumahnya

Rep: Yoebal Ganesha/ Red: Johar Arif
Kerusakan akibat letusan Gunung Merapi
Foto: Antara
Kerusakan akibat letusan Gunung Merapi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Hari-hari Yusuf Sanusi (31 tahun) kini hanya disibukkan untuk mencetak batako dengan bahan dasar semen dan pasir Merapi yang terhampar luas di desanya. Untuk satu batako yang dicetaknya, ia mendapat upah Rp 200. Sehari, paling banyak ia hanya bisa menghabiskan dua sak semen yang bisa menghasilkan 120 batako.

Bila hari libur datang, ia berganti profesi menjadi penjaga parkir kendaraan wisatawan lokal yang berkunjung ke dusunnya, untuk melihat jejak kerusakan akibat terjangan wedus gembel dari letusan Merapi 26 Oktober 2010. Yusuf, istrinya, serta anak semata wayangnya selamat dari erupsi besar Merapi itu.

Tapi, rumahnya yang terletak di Dusun Kopeng, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, hancur rata dengan tanah. Bencana itu membuat seluruh harta benda ludes dalam sekejab dan menjadikan mereka sebagai pengungsi hingga sekarang di barak pengungsian Pagerjurang, Kepuharjo. ''Untung ada LSM dari Jakarta yang memberikan pekerjaan ini. Dulunya saya sama sekali tak bisa mencetak batako,'' ujar Yusuf menceritakan kisahnya. Dulu ia merupakan petani.

Yusuf menyebutkan, sebanyak 155 kepala keluarga (KK) yang berasal dari dusunnya kini masih tinggal di pengungsian. LSM dari Jakarta memperkerjakannya untuk mencetak batako, dan batako itu lantas dibagi-bagikan kepada warga. ''Setiap KK di dusun kami akan mendapatkan 1.200 batako, yang bisa mereka simpan untuk dipakai membangun rumah mereka kembali, bila situasi sudah memungkinkan,'' tuturnya.

Walaupun Dusun Kopeng termasuk wilayah kawasan rawan bencana III yang jaraknya hanya sekitar 6 kilometer dari puncak Merapi, Yusuf berniat membangun kembali rumahnya di bekas reruntuhan rumah yang lama. Dia tak memedulikan imbauan pemerintah setempat agar tak membangun rumah di kawasan yang rawan terhadap terjangan debu panas jika Merapi 'batuk' lagi.

Padahal untuk membersihkan reruntuhan rumahnya juga tak mudah. Yusuf mesti memindahkan timbunan pasir dan bebatuan besar yang berserakan di atas tanahnya. ''Perlu alat berat untuk memindahkan batu-batuan itu,'' katanya.

Parwoto (46), pembuat batako yang juga tinggal di Dusun Kopeng, pun mempunyai rencana untuk membangun kembali rumahnya yang hancur. ''Tanah saya cuma ini, warisan satu-satunya dari orang tua saya,'' ujarnya. Bersama keluarganya, Parwoto juga tinggal di barak pengungsian Pagerjuang.

Dusun Kopeng memang termasuk wilayah terparah yang dihantam erupsi Merapi. Praktis hampir separuh dusun itu, kini tertutup pasir dan batu. Heri Suprapto, kepala Desa Kepuharjo, mengatakan sampai saat ini masih ada 650 KK (2.257 jiwa) warga desanya yang hidup di tiga barak pengungsian, yakni Barak Pagerjurang, Gedung SMP II Cangkringan, dan Gedung SMK 1 Cangkringan.

Heri sendiri terpaksa tinggal di pengungsian, karena rumahnya ikut hancur. ''Menurut rencana, warga kami nantinya akan ditempatkan di Shelter Gondang I dan Gondang II. Namun sampai sekarang, shelter itu belum juga selesai dibangun,'' keluhnya.

Heri tak tahu kapan tepatnya shelter itu akan selesai didirikan. Ia hanya bisa berharap agar pembangunannya bisa dipercepat. ''Saya prihatin. Warga berharap shelter bisa cepat selesai, sehingga minimal mereka tak perlu tinggal berdesak-desakkan di barak pengungsian,'' tuturnya.

Sementara, Jumar (31 tahun), warga Kepuharjo, mengaku kini hidup dengan mengandalkan motornya.  Ia juga tinggal di pengungsiang SMP II Cangkringan bersama istri dan anak semata wayangnya. Setelah letusan Merapi, dia memilih menyumbangkan hidup menjadi relawan desa, yang siap ditugaskan bekerja apa saja untuk membantu sesama warga.

Untuk menutup biaya hidupnya, Jumar menawarkan jasa pengantaran bagi wisatawan yang datang ke desanya. Ia enggan menyebutkan berapa uang jasa yang diterimanya, karena lebih bersifat kerelawaan. ''Tapi itu sangat jarang mas, kecuali kalau hari libur. Hari-hari selain itu, saya ngojek, mengandalkan hidup dari sepeda motor ini,'' kata Jumar.

Aris, seorang relawan Taruna Siaga Bencana di Desa Kepuharjo, mengatakan memang praktis warga yang kehilangan rumahnya kini tak bisa berbuat apa-apa. Umumnya dulu mereka adalah peternak sapi atau berladang. Tapi kini semuanya musnah.

Mereka yang kehilangan rumah itu, secara berkelompok per 10 orang, sekarang dilibatkan untuk membuat batako. ''Semen kami dapat dari sumbangan sejumlah pihak. Setiap kelompok mendapatkan jatah 10 sak semen. Sedang pasir bisa mereka usahakan sendiri,'' jelas Aris.

Namun, tak semua warga korban Merapi bisa terlibat membuat batako karena terbatasnya pasokan sumbangan semen. Muji Utomo (52) warga Ngrangkah, Desa Umbulharjo, hanya bisa makan, tidur dan makan, tidur di pengungsian, karena tak ada pekerjaan. Padahal dulu sehari-hari dia disibukkan mengurus lima ekor sapi perah.

Di Umbulharjo terdapat 218 KK (688 jiwa) yang masih tinggal di barak-barak pengungsian. Agus, salah seorang koordinator pengungsi di Desa Umbulharjo, mengatakan rencananya warga Desa Umbulharjo yang kehilangan rumahnya (masing-masing dari Dusun Ngrangkah, Dusun Pangukrejo, Dusun Pelesari, dan Dusun Kinahrejo) akan ditampung sementara di shelter Plosokerep, Umbulharjo. Namun, katanya, sampai sejauh ini baru 24 KK yang bisa menghuni shelter tersebut.

Para pengungsi itu berharap sekali bisa segera menjalankan aktivitas hariannya dengan normal. Memiliki rumah dan pekerjaan tetap seperti sedia kala mesti hanya menjadi petani atau peternak sapi. Mereka tak pernah mendengar adanya program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan baik oleh pemerintah kabupaten, provinsi, atau pusat.

''Apa ada program pemberdayaan ekonomi? Seperti apa? Wah, saya tak pernah dengar. Apa bekerja membuat batako ini termasuk program pemberdayaan ekonomi ya?'' tanya Yusuf.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement