REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Konsep Gubernur Utama yang sebagaimana yang disebutkan pemerintah dalam RUUK merupakan konsep yang berlaku pada zaman kolonial yaitu divide et impera yang ingin memecah belah rakyat Yogyakarta. Hal itu dikemukakan Kerabat Keraton Yogyakarta yang juga sebagai Kawedanan Ageng Panitro Puro (Sekjen) keraton Ngayogyakarta GBPH Joyokusumo pada saat menerima delegasi DPD RI di Ndalem Joyokusuman, Sabtu (29/1).
Sementara itu mengenai kekhawatiran pemerintah tentang mekanisme jabatan Sultan ketika sudah tua atau masih anak-anak dan apabila Sultan terlibat hukum itu juga tidak perlu dipermasalahkan. Karena sudah jelas baik secara historis maupun kepemerintahan.
Menurut Joyokusumo, mengenai kedudukan Sultan sebagai Gubernur jika sudah sepuh atau sebaliknya jika Sultan yang menjabat masih sangat muda sudah sering disampaikan. "Mengapa harus selalu diulang-ulang dipertanyakan? Justru seolah diinformasikan itu sengaja dibuat dan kami menilai banyak informasi di tingkat pusat yang justru berbeda dengan kenyataan," tutur dia yang didampingi Tepas Doropuro KRT Jatiningrat.
Dia menjelaskan, ketika Sultan sudah sepuh, secara historis pernah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VII yang mundur pada usia 80 tahun. "Kemudian ketika Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia 10 tahun, Paku Alam I yang ditunjuk oleh Inggris untuk menjalankan pemerintahan . "Nah dari situ kan bisa ditarik kesimpulan apakah nanti dalam RUUK DIY itu Sultan mau dibatasi usia. Atau ketika Sultan masih muda kewenangannya bisa dijalankan oleh Wakil Gubernur atau Paku Alam," jelas dia.
Ketika kondisi Sultan selaku Gubernur atau Paku Alam selaku wakil Gubernur tidak memenuhi syarat, maka telah ada konsep bahwa hal itu kembali kepada presiden, karena Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat telah menyatakan diri untuk bergabung dengan NKRI. Tentu saja Presiden harus berembug dengan keluarga keraton untuk menentukan siapa yang akan ditunjuk menggantikan Sultan dan Paku Alam.
Selanjutnya KRT Jatiningrat mengatakan kalau masih dipersoalkan bahwa Sultan kebal hukum itu tidak masuk akal. Sebab sejak tahun 1947 kekebalan hukum Sultan sudah dihapus oleh Sultan Hamengku Bowono IX. Sehingga apabila ternyata Sultan di kemudian hari terlibat masalah hukum harus diproses sesuai dengan peradilan yang berlaku.
Sementara itu Ketua Komite I DPD RI Dani Anwar mengaku informasi tersebut cukup melegakan karena ternyata ketika Sultan dan Paku Alam berhalangan tetap, maka dengan legowo Kraton menyerahkan pada Presiden. Hal tersebut dianggap sebagai sikap yang bijak dan luar biasa.
"Sebenarnya, kita tidak perlu khawatir karena selalu ada jalan. Tetapi politik itu kadang malah mengaduk-aduk persoalan yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan. Sebetulnya penetapan Sultan sebagai Gubernur tidak bertentangan dengan konstitusi," tegas dia. Dani mengatakan DPD akan menyampaikan hal itu pada saat penjelasan pada tanggal 2 Februari dalam menanggapi penjelasan pemerintah tentang RUUK.
Dan yang paling penting, dia menambahkan, justru yang menjadi tugas rakyat Yogyakarta adalah menyampaikan aspirasinya dan sikapnya pada saat DPR RI datang ke Yogyakarta untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Yogyakarta tanggal 24 Februari. "DPR tidak boleh lari dari aspirasi masyarakat Yogyakarta yang ditampungnya," tutur dia. nneni