Senin 24 Oct 2011 11:31 WIB

Dari Mana Sebaiknya Pendanaan CSR?

Red: Slamet Riyanto
Program CSR BNI untuk bantuan sarana pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Program CSR BNI untuk bantuan sarana pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Pertanyaan:

Bagi perusahaan, dari manakah sebaiknya pendanaan CSR diambil? Apakah, dari pendapatan sebelum pajak (Earnings Before Tax)? Atau dari pendapatan setelah pajak (Earnings After Tax)?

Jawab:

Bapak/Ibu yang saya hormati, izinkan saya berpendapat bukan sebagai ekonom ataupun akuntan, namun sebagai pembelajar CSR, baik dari sisi akademik maupun praktis.

Berbicara mengenai pendanaan CSR memang kerap menimbulkan polemik dan bahkan perdebatan panjang. Di satu sisi, terdapat pandangan yang 'menuntut' agar CSR dimaknai sebagai investasi perusahaan. Oleh karena itu, CSR haruslah dicadangkan dari pendapatan sebelum pajak. Dengan demikian, diharapkan program CSR dapat berimbas pada pendapatan perusahaan dalam jangka panjang.

Tak ada yang salah dengan pandangan tersebut. Namun demikian, pandangan ini menyisakan ruang distorsi dalam pelaksanaannya. Ya, perusahaan yang mencadangkan dana CSR dari pendapatan sebelum pajak kerap menjadikan CSR sebagai 'alasan' untuk mengurangi pajak. Hal ini tentulah merupakan sebuah preseden negatif. Perusahaan justru 'menjebak' dirinya sendiri dalam praktek yang tidak etis jika dipandang dari sisi normatif. Dengan demikian, hal ini justru menjauhkan perusahaan dari semangat dasar CSR itu sendiri yang menjunjung tinggi tanggung jawab secara etika. Lebih jauh lagi, perusahaan dapat terjerembab dalam risiko reputasi pada jangka panjang.

Selain itu, hal ini pun mendorong perusahaan untuk memperlakukan CSR sebagai 'promosi'. Karena pengeluaran yang dilakukan untuk CSR berbuntut pada 'tuntutan' pencapaian / penerimaan dalam jangka pendek. Alhasil, CSR tak ubahnya bagaikan program sales perusahaan.

Oleh karena itu, saya cenderung berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR akan jauh lebih baik dan lebih 'aman' bagi perusahaan jika dicadangkan dari pendapatan setelah pajak. Sehingga penentuannya pun dihitung berdasarkan keuntungan bersih perusahaan, bukan dari asumsi keuntungan yang akan didapat. Hal ini akan lebih menenangkan bagi perusahaan itu sendiri. Karena bagaimanapun, program CSR memerlukan konsistensi dan komitmen yang jelas. Pendanaan yang diambil dari keuntungan setelah pajak, akan lebih memberikan kepastian bagi keberlangsungan program itu sendiri. Karena batasan dana pun telah ditentukan dengan jelas.

Sementara, pencadangan dana yang diambil dari asumsi keuntungan sebelum pajak dapat lebih berisiko. Krisis dapat terjadi kapanpun, yang tentu dapat menjungkirbalikkan seluruh asumsi yang telah dibuat. Dalam keadaan seperti ini, CSR justru membebani perusahaan. Padahal program telah terlanjur dijalankan. Alhasil, program akan sangat berpotensi untuk terbengkalai dan jauh dari semangat sustainability. Di titik ini, pelaksanaan CSR justru menjadi bumerang bagi perusahaan, yang menyebabkan perusahaan terpapar risiko reputasi. Publik kini telah cukup cerdas untuk menilai keseriusan perusahaan dalam 'memberi'.

Maka, jika boleh saya berpendapat, akan lebih baik jika kita menjalankan program CSR walaupun dengan dana yang sedikit tetapi dari sumber yang relatif jelas, serta dengan penerapan yang konsisten dan berkesinambungan. Ketimbang memaksakan diri mencadangkan dana CSR dalam jumlah besar, namun didasarkan dari asumsi keuntungan yang dapat berubah kapan pun karena hantaman krisis. Apalagi jika dana besar tersebut hanya dipaksakan demi meraih popularitas semata.

Berapa pun nominal dananya, jika kita berfokus pada kualitas program, insya Allah jalinan konstruktif dengan publik akan lebih terbangun.

 

 

Tanya Jawab CSR diasuh oleh rizky wisnoentoro

Pertanyaan seputar CSR dapat dikirimkan ke email [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement