REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Jumat (16/11), diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perwakilan Yogyakarta, GKR Hemas, mengatakan hendaknya hari ini dijadikan momentum untuk meneguhkan tekad mencegah ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di negeri ini. Sebab, keragaman agama, bahasa, budaya, dan etnis yang dimiliki bukanlah dalih untuk memicu konflik, tapi sebagai pelengkap yang memperkaya semua.
"Para caleg Pemilihan Legislatif (Pileg) dan para pendukung pasangan calon Pemilihan Presiden (Pilpres) hendaknya lebih menahan diri dalam berkampanye sehingga bangsa ini dapat melewati tahun politik dengan aman dan damai. Sebab, kampanye yang dilakukan dengan cara menyerang lawan politik atau mengedepankan politik identitas cenderung memicu konflik dan permusuhan," ujarnya seperti dalam siaran pers.
Politik identitas menurutnya, hanya memunculkan politik yang mementingkan relasi emosional seraya merendahkan pertimbangan rasional. Sehingga pilihan yang diambil lebih karena bersifat dorongan primordial yang kurang mengedepankan pilihan karena pertimbangan kemaslahatan umum.
Pilihan yang berdasarkan identitas dilakukan karena relasi ras, etnis, kedaerahan, dan juga karena kesamaan keyakinan agama. Partai politik dan kandidat di pilpres agar mampu menghadirkan visi, dan program sehingga memungkinkan pemilih memberi petimbangan yang lebih rasional untuk memilih.
"Kita harapkan di tahun politik ini tidak ada peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan eskalasi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat rentan. Untuk itu, penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus lebih ketat menegakkan aturan. Tidak ada pembiaran terhadap isu-isu SARA. Begitu pun penegakan hukum harus adil tidak terkesan tebang pilih," ujarnya.
Sekali lagi, merefleksikan Hari Toleransi Internasional, diversitas budaya dan agama adalah sebuah keniscayaan, bukan tujuan untuk menyeragamkan. Potensi konflik jelas ada, dan tugas bersama bagaimana dapat meminimalisir potensi itu agar tidak menjadi konflik yang sesungguhnya.
Pluralisme harus pertama kali dikaitkan dengan Pancasila, sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu hasil dari kontrak politik dari Para Pendiri Republik. Di mana, salah satu konsensusnya adalah Indonesia dibangun atas asas Pancasila. Bukan atas ideologi politik apa pun, termasuk ideologi agama.
Secara singkat, para tokoh Indonesia Timur pada awal kemerdekaan mendesak Soekarno-Hatta untuk menghapuskan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Dengan disepakatinya tuntutan masyarakat Indonesia Timur tersebut, berarti perdebatan atas asas dasar dibangunnya negara telah selesai. Para Pendiri Republik bercita-cita membentuk Indonesia atas dasar lima sila dalam Pancasila.
Mengembalikan penghargaan terhadap kebhinnekaan itulah akhirnya persatuan Indonesia bisa diperkuat kembali. Jika pun pluralisme dikaitkan dengan agama, sesungguhnya tidak ada satu agama pun yang menolak prinsip-prinsip pluralisme, seperti toleransi, saling menghormati, menghargai perbedaan dan lain-lain. Hanya saja pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamanya yang perlu diperbaiki.
Menurut GKR Hemas, sudah dibuktikan dalam sejarah kehidupan berbangsa, bahwa kemajemukan historis dan budaya lokal serta keanekaragaman daerah tidak bisa dipaksakan menjadi satu pola yang serba seragam. Keutuhan Indonesia sebagai satu bangsa, justru dimaksudkan dibangun di atas kemajemukan (Bhineka tunggl ika).
"Kalau kita mengingkari keragaman atau kemajemukan ini, maka akan muncul benih-benih perpecahan (disintegrasi bangsa), seperti yang sudah terbukti selama tiga dasa warsa terakhir," ujarnya.