REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Autis itu bukan menakutkan, tapi sesuatu yang harus diterima dengan sebaik-baiknya,’’ kata seorang pengidap autis yang sudah berusia 19 tahun, Anjuan Siahaan. Anjuan divonis autisme saat usianya menginjak 2,5 tahun.
Namun saat ini, ia telah menjelma menjadi remaja pecinta musik yang sedang kuliah di Institut Musik Indonesia. Anjuan sekarang tak beda dengan orang-orang ‘normal’ di sekitarnya. Ia bahkan lebih berprestasi dengan bakat musiknya yang matang. Anjuan sangat pandai memainkan gitar listrik.
Sebelum sampai hingga kondisi saat ini, ia telah melewati serangkaian terapi setelah divonis autisme. Seperti terapi bicara, terapi menulis dan lainnya dilakoni Anjuan kecil.
Hingga menginjak usia sekolah, ia mengaku sulit memahami pelajaran. Ia pun berperilaku berbeda hingga anak-anak lain sering menjadikannya bahan becadaan dan olokan. ‘’Saat itu sedih, tapi harus dihadapi jadi tetap kuat terus,’’ ujarnya.
Kondisi masyarakat Indonesia memang masih awam dengan autisme, sebuah kelainan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. "Gejalanya sudah timbuh sebelum anak mencapai usia tiga tahun,’’ ujar dr Melly Budhiman, Ketua Yayasan Autis Indonesia (YAI) yang juga merupakan seorang psikiater anak.
Dr Melly mengemukakan, autis memiliki gejala-gejala yang cukup general. Diantaranya, gangguan komunikasi dua arah sehingga anak tidak bisa mengobrol bahkan berbicara, tidak bisa berinteraksi sosial dengan orang lain, perilaku aneh mengarah pada ketidakpedulian, gejala panca indera dan emosi yang terlalu peka.
Kebanyakan masyarakat tidak tahu apa yang terjadi pada anak autis sehingga pemahaman dan penerimaan terhadap mereka pun kurang. Menyadari hal ini, YAI membangun sebuah labirin otak yang merepresentasikan apa yang dirasakan oleh seorang anak autis melalui panca inderanya.
Labirin otak yang disebut Autismaze tersebut memberikan gambaran tentang gangguan panca indera yang dirasakan oleh anak autis. Autismaze berbentuk otak itu dibuat seluas 255 meter persegi. Ia terbuka untuk umum yang ingin tahu bagaimana anak autis menghadapi benda-benda disekililingnya dengan kelainan sistem panca indera.
Kelainan ini seringkali membuat mereka bereaksi berlebihan terhadap sesuatu. Seperti berteriak-teriak ketika memasuki ruangan yang sangat terang, menjerit-jerit ketika memakai baju, memuntahkan semua makanan di tempat umum dan reaksi berlebihan lainnya.
Reaksi tersebut mengganggu bagi mereka yang tidak memahami. Hingga mereka menyebut pengidap autis sebagai seseorang yang antisosial, terperangkap dalam dunia sendiri, otak macet, orang aneh hingga menyebut mereka sakit jiwa. ‘’Melalui Autismaze, kami ingin mengubah persepsi masyarakat,’’ kata dr Melly.
Di dalam labirin otak tersebut, disajikan tulisan-tulisan tentang apa yang dirasakan seorang anak autis. Siapa sangka, cahaya lampu neon yang bagi orang normal adalah sesuatu yang biasa, bagi mereka seperti jutaan jarum yang seketika menyerang ke mata.
Baju yang menurut orang kebanyakan adalah hal yang biasa, bagi mereka seperti benda kasar yang tajam menusuk-nusuk kulit. Rumput menjadi sangat menjijikan dan membuat muntah, karpet yang lembut menjadi seperti jarum, suara detik jarum jam seperti dentuman demi dentuman, bau bunga mawar menjadi sangat menusuk hidung, roti tawar menjadi sangat bau.
Anjuan mengatakan hal itu terjadi ketika ia masih kecil. Begitulah adanya. Dengan bantuan terapi dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, lambat laun ia terbiasa menghadapi kondisi seperti itu hingga bisa bereaksi normal terhadapnya. ‘’Yang penting itu berani menghadapi, dan terus berusaha, juga terus semangat,’’ kata mahasiswa jurusan Music Performance ini.