REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian dari Universitas Calgary di Kanada menemukan bahwa penderita jerawat memiliki peningkatan risiko terkena depresi berat secara signifikan. Namun kondisi itu hanya berlaku lima tahun pertama setelah didiagnosis menderita jerawat.
Analisis ini mencakup data dari The Health Improvement Network, yakni database perawatan primer besar di Inggris. Analisis ini dipublikasikan di British Journal of Dermatology.
Para peneliti menemukan bahwa risiko depresi mayot berada pada satu tahun pertama diagnosa jerawat. Risiko tersebut lebih tinggi 63 persen dibandingkan dengan individu tanpa jerawat.
Hasilnya menunjukkan bahwa penting bagi dokter untuk memantau gejala mood pada pasien dengan jerawat. Selain itu, perawatan dilakukan untuk depresi atau mencari konsultasi psikiater bila diperlukan.
"Studi ini menyoroti hubungan penting antara penyakit kulit dan penyakit jiwa. Mengingat risiko depresi tertinggi pada periode ketika pertama kali pasien konsultasi pada dokter untuk masalah jerawat," papar penulis utama studi ini, Dr. Isabelle Vallerand seperti dilansir dari laman Spectator.
"Ini menunjukkan seberapa besar dampak kulit terhadap kesehatan mental kita. Bagi penderita jerawat, ini lebih dari sekedar noda kulit. Karena masalah ini menimbulkan masalah kesehatan mental yang signifikan dan harus ditangani dengan serius," tutupnya.