REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Seseorang biasanya menguap ketika mereka lelah, terbangun dari tidur malam, bosan, cemas, lapar, dan bahkan ketika akan memulai kegiatan baru. Kita sering ketularan menguap begitu seseorang di dekat kita melakukannya.
Menurut seorang profesor ilmu saraf klini di University of Geneva Adrian Guggisberg, ada banyak pemicu orang menguap. Contohnya, petugas polisi mengatakan mereka menguap sebelum memasuki situasi yang sulit.
Anda mungkin juga akan menguap ketika membaca tulisan tentang menguap. Tetapi, tujuan fisiologis menguap tetap menjadi misteri.
“Jawaban sebenarnya sejauh ini adalah kita tidak benar-benar tahu mengapa kita menguap. Sejauh ini tidak ada efek fisiologis dari menguap dan itulah mengapa kami berspekulasi,” kata Guggisberg, seperti yang dilansir dari New York Times, Senin (25/2).
Sekitar 30 tahun lalu, para ilmuwan menjelaskan menguap sebagai cara bagi tubuh untuk mengambil sejumlah besar udara untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah. Hal ini dilakukan sebagai respons kekurangan oksigen.
Tetapi hipotesis oksigenasi dibuang setelah ditolak oleh serangkaian percobaan yang diterbitkan pada 1987. Salah satu teori saat ini, menurut asisten psikologi di State University of New York Polytechnic Institute Andrew Gallup, menguap merupakan mekanisme pendinginan otak yang berfungsi meningkatkan gairah dan kewaspadaan.
Menguap terdiri dari inhalasi udara yang dalam disertai dengan peregangan rahang yang kuat, diikuti oleh udara yang lebih pendek dan penutupan rahang yang cepat. Secara kolektif, pola perilaku ini meningkatkan aliran darah ke tengkorak yang dapat memiliki sejumlah efek. Salah satunya pendinginan otak.
“Ketika suhu tubuh kita lebih hangat, kita merasa lebih lelah dan mengantuk. Bisa jadi menguap di malam hari dipicu oleh percobaan menghindari tidur,” kata Gallup.
Selain itu satu hal yang pasti, satu orang menguap dapat memicu seluruh kelompok melakukan kegiatan yang sama. Orang yang lebih empatik diyakini lebih mudah dipengaruhi untuk menguap.
“Penyebaran menguap berpotensi mempromosikan gairah yang terkoordinasi di antara anggota kelompok, menyinkronkan kondisi mental mereka, dan berpotensi melindunginya dengan sikap siaga terhadap ancaman eksternal lebih cepat daripada yang seharusnya,” ujarnya.