REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Forum Tempe Indonesia (FTI) menyatakan mempunyai bukti bahwa tempe merupakan warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage of humanity) yang akan digunakan sebagai dokumen untuk diajukan ke UNESCO. Ketua FTI Prof Made Astawan di sela Lokakarya Internasional tentang Tempe yang diadakan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) di Surabaya, Selasa (20/3), mengatakan salah satu bukti dokumen kuat adalah munculnya kata-kata tempe di Serat Centhini yang menunjukkan bahwa tempe telah dikenal sejak abad ke-16.
Dia menjelaskan Serat Centhini terbit tahun 1815. Namun, manuskrip tersebut mendeskripsikan kehidupan tahun 1600 dan diyakini tempe sudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat Jawa ratusan tahun lalu.
"Kita punya bukti yang kuat yakni Serat Centhini. Itu tidak bisa dimungkiri. Katakanlah negara-negara lain ikut mengajukan, mereka akan kekurangan bukti," kata dia.
Selain bukti dokumen, syarat lain yang dibutuhkan untuk maju ke UNESCO ialah pengakuan dari Pemerintah Indonesia bahwa tempe merupakan warisan budaya nasional. Pengakuan itu sudah diberikan pada Oktober 2017 lalu.
"Bayangkan, kita sudah makan tempe sejak ratusan tahun yang lalu, tapi baru saja ditetapkan pemerintah sebagai warisan budaya," kata guru besar bidang pangan, gizi, dan kesehatan di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Sebelumnya memang belum ada yang mengajukan tempe sebagai warisan budaya nasional. Pengajuan FTI ke pemerintah tak lepas dari persyaratan untuk bisa maju ke UNESCO. Tempe harus diterima dulu di Indonesia, setelah itu diajukan ke UNESCO. Lokakarya ini, lanjut dia, merupakan bentuk selebrasi atas pengakuan Pemerintah Indonesia. "Mudah-mudahan tahun 2021 bisa maju ke UNESCO untuk mendapat pengakuan," ujarnya.
Made mengemukakan, keuntungan dari pengakuan UNESCO atas tempe diharapkan seperti pada batik. Setelah batik ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya tahun 2009, semua orang memakai batik, baik tua dan muda.
"Sebelum itu orang pakai batik saat kondangan. Sekarang semua pakai, meski bawahan jins atas batik, ya tidak masalah. Nah, diharapkan tempe juga seperti itu. Tempe dikonsumsi semua kalangan, bisa di restoran, hotel, untuk ekspor, dan lain-lain," tuturnya.
Made juga mengingatkan kepada perajin tempe untuk berbenah dalam teknik pembuatan. Apalagi, dewasa ini tempe sudah diterima di lebih 20 negara.
"Ke depannya, supaya kita bisa ikut terlibat percaturan tempe dunia, mau tidak mau, sebagai negara yang punya budaya itu harus lebih memperbaiki cara produksi," ucapnya.
Dia mengakui, sejumlah produsen tempe di Indonesia telah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar mutu tempe internasional (codex). Codex tersebut lebih banyak mengadopsi ke SNI.
"Membuat tempe itu gampang, tapi yang higienis dan supaya memenuhi standar itu yang sulit. Terutama menyangkut kebiasaan membuat tempe," ucapnya.