Selasa 07 Nov 2017 20:13 WIB

ISEF 2017 Dorong Pengembangan Gaya Hidup Halal

Rep: Binti Sholikah/Agung Vazza/ Red: Nidia Zuraya
Halal, ilustrasi
Halal, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gelaran Indonesia Sharia Economic Festival(ISEF) 2017 mendorong pengembangan ekonomi syariah yang difokuskan pada gaya hidup halal (halal lifestyle). Hal itu akan membuat Indonsia mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang mengembangkan industri halal.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur, Difi A Johansyah, menyatakan, pengembangan ekonomi syariah harus berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. "Halal lifestyle, terobosan baru dalam ekonomi syariah, tidak hanya harus dorong lembaga keuangan syariah ataupun perbankan," kata Difi dalam konferensi pers pelaksanaan hari pertama ISEF 2017, Selasa (7/11).

Untuk mengembangkan industri gaya hidup halal, perlu menciptakan wiraswasta di sektor syariah. Bank Indonesia memperkuat melalui pemberdayaan pesantren dan bekerja sama dengan lembaga lain, seperti Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), akademisi, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, di bawah koordinasi Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Difi mencontohkan negara lain yang telah lebih maju dalam mengembangkan industri halal. Seperti Thailand melalui produksi makanan bersertifikasi halal, Australia mengekspor daging halal, Cina mengekspor busana muslim ke Timur Tengah, serta Korea dan Jepang yang banyak memproduksi kosmetik halal.

"Indonesia jangan hanya menjadi pasar, peluang kita sangat besar. Kebutuhan masyarakat harus halal, makanan halal, pakaian, juga wisata halal yang mulai dikembangkan. Potensi pasar halal ada," ujar Difi.

Menurut Difi, memang tidak mudah menciptakan wirausaha di bidang industri halal. BI bersama OJK berupaya mendampingi melalui pembentukan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). BI dan OJK membantu membangun kapasitas, misalnya di sektor tertentu seperti industri pakaian, pertanian, makanan, dan lain-lain.

"Kita bisa kolaborasi, banyak institusi yang konsen di wirausaha. Kepastian halal dan thoyib potensinya, sudah terjadi di pariwisata halal, misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat," imbuh Difi.

Pengembangan industri halal memiliki daya tarik sendiri. Di Medan telah mengembangkan hotel syariah yang mengutamakan kebersihan sebagai nilai jual ekonomi syariah.

Namun, tantangannya juga besar, dari faktor keamanan, keadilan, kejujuran, serta ada prinsip keadilan bagi produsen dan konsumen. "Kunci pengembangan syariah harus amanah dan keadilan penting sebagai pilar syariah," ucapnya.

Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, Anwar Bashori, menambahkan, Thailand yang hanya memiliki penduduk Muslim 5 persen memiliki visi menjadi halal kitchen in the world. Penggiatnya justru keturunan dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Sedangkan Korea memiliki visi pariwisata halal (halal tourism). Jepang juga telah menjadikan industri halal sebagai bisnis. Sedangkan Malaysia telah memiliki pusat sertifikasi halal sejak 2006.

"Mereka, Thailand, Korea dan Australia bicara soal thoyib. Indonesia halal tapi belum bisa thoyib, daging sembelih halal tapi belum bisa impor ke luar negeri. Arab daging halal dari Brazil, mulai dari barang-barangnya thoyib bersih. Indonesia masih menjadi market, dengan negara besar muslimnya," jelas Anwar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement