REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Rakhmad Zailani Kiki, Sekretaris Aswaja NU Center
Hujan di awal Januari 2020 yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia dan DKI Jakarta kembali megakibatkan bencana banjir. Lagi-lagi yang menjadi korbannya bukan hanya harta benda tetapi juga nyawa. Media massa pun ramai dengan pemberitaan tentang terbelahanya pandangan warga di wilayah yang terdampak bencana banjir.
Terbelahnya pandangan warga terhadap bencana banjir ini bahkan telah masuk ke wilayah teologi karena para tokoh atau pemuka agama, khususnya dari Islam, turut andil memberikan pandangannya yang bersifat teologis. Walaupun sebagian tokoh atau pemuka agama Islam lainnya memilih untuk diam, abstain, tidak memberikan komentar apa-apa.
Paling tidak, dari pengamatan saya, ada dua pandangan warga dalam menyikapi bencana banjir ini, terlepas dari kepentingan politik yang menungganginya, yaitu: Pandangan pertama menyatakan bencana banjir disebabkan oleh ketidakbecusan, salah urus pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan banjir. Sedangkan pandangan kedua menganggap banjir adalah sunnatullah, bencana dari Allah subhanahu wa ta'ala yang tidak dapat dihindari, taken for granted, kalau tidak mau terkena banjir silakan pindah ke wilayah lain yang tidak terdampak banjir.
Dua pandangan ini sejatinya memiliki sejarah yang panjang dan memiliki basis teologis yang kuat dari dua paham keislaman, yaitu Mu'tazilah dan Asya'ariah yang kemudian ditengahi oleh ahlussunnah wal jama'ah yang disingkat dengan Aswaja. Aswaja merupakan paham gabungan Asy'ariah dengan Maturidiyah.