REPUBLIKA.CO.ID, Orangtua sering kali ingin memberikan perlindungan pada anak. Sayangnya, perlindungan itu kerap kali berlebihan.
Psikolog anak dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Yusi Riksa Yustika, menilai perlindungan orang tua yang berlebihan lahir dari rasa kekhawatiran mereka yang berlebihan pula. Rasa khawatir, menurut Yusi, merupakan hal yang wajar. ''Namun, jangan sampai rasa khawatir berubah menjadi panik seperti itu,'' ujarnya.
Beberapa penyakit seperti kelainan jantung, sudah bisa dideteksi sejak dini, saat bayi dalam kandungan. Rasa kaget merupakan hal yang lumrah. Namun, seharusnya informasi tersebut membuat orangtua lebih siap menghadapi semua kemungkinan dan tidak panik saat membesarkan anak.
"Siapkan anak hidup senormal mungkin dalam kapasitasnya,'' ujar aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar ini menjelaskan. Tuntutan kompetensi, harus cepat diajarkan. Jika tidak diajarkan, anak bisa bergantung dan itu tidak baik untuk keduanya. Bahkan anak tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Orang tua yang mempunyai anak dengan kelainan jantung, misalnya, harus mengajarkan indikator serangan penyakit jantung kepada anaknya. Dengan begitu jika terkena serangan, anak bisa tahu apa yang harus dilakukannya. Anak pun dengan sendirinya menghindari hal-hal yang bisa membahayakan dirinya.
Anak, jelas Yusi, harus dibiarkan anak tumbuh sesuai dengan kemampuannya. Ia mencontohkan anak yang menyandang cacat kaki. Orangtua harus membiarkan si anak memaksimalkan kemampuan semua anggota tubuhnya selain kaki untuk melakukan ativitas apa pun. ''Jangan sampai mengambil air pun, dilakukan orang tua.'' Begitu pun ketika anak mengerjakan tugas dan pekerjaan rumahnya. Orang di sekelilingnya harus berprinsip sebagai saudara. Yakni, mengetahui semua kelemahan si anak dan membantunya. Namun, membantu bukan berarti harus mengalah dan mengerjakan semua hal yang sebenarnya bisa dilakukan anak tersebut.