Selepas Subuh, Bandara Internasional Soekarna Hatta di akhir Maret itu penuh sesak. Lautan manusia sudah memadati bandara besar ini untuk beberapa tujuan. Ada yang persiapan perjalanan singkat untuk mengisi long weekend, banyak juga jamaah yang ingin menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci, lengkap dengan atribut yang mereka kenakan mulai dari seragam, ID Card dan sebagainya.
Seperti biasanya, jamaah yang ingin beribadah haji atau umrah selalu didampingi keluarga besar, dan itulah yang membuat bandara kian ramai. Keramaian tersebut rupanya menjadi berkah tersendiri bagi ratusan porter (pengangkut koper) yang tersebar di beberapa sudut bandara.
Bersama porter, sebut saja Ria—travel officer—yang memang pagi itu mendapat tugas handling peserta menuju ke pintu masuk check in area dengan terlebih dahulu dibekali puluhan ribu rupiah dari rekan kerjanya yang berujar, “Buat lapor ke komandan!”
Dihinggapi rasa ‘bingung’ dan ketidaktahuannya akan ‘lapor-laporan’ tersebut, dengan santai Ria masuk ke pintu check in area. Uang masih ia genggam hingga petugas di pintu berujar, “Lapor ke dalam, ya Mbak? Tuh, di sudut kanan!”
Setelah masuk melalui pintu pemeriksaan bawaan, dengan cuek ia terus berjalan lurus. Namun, ia diteriaki oleh satu petugas di situ. “Sini dulu, Mbak!”
Disaksikan oleh beberapa petugas lain, tiada pilihan bagi Ria untuk menolak ajakan si Bapak. “Mau kasih berapa, Mbak? Itu berapa?” ujar si Bapak dengan nada santai seraya mengajukan dagu ke tangan Ria yang memang masih menggengam puluhan ribu rupiah.
Berusaha memahami kondisi yang tidak beres dengan situasi yang terdesak, Ria menjawab, “Nih, Pak!” Lantas ia pun berjalan cepat meninggalkan si Bapak yang dengan kencang berteriak, “Eh, kurang Mbak.” Ria pun menambah kecepatan langkahnya, berpura-pura tidak mendengar teriakan petugas tersebut.
Kisah di atas adalah sepenggal dari jutaan kisah senada nan memilukan di negeri ini. Membaca pengalaman di atas, mungkin membuahkan perasaan miris, malu, atau bahkan kesal dengan aktivitas yang nampaknya sudah menggejala dan makin mendarah daging di negeri kita; risywah (suap) dan pungutan liar alias pungli.
Ibnu Atsir dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan, ar-risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-risywah sendiri berasal dari ar-risya' yang berarti tali yang menjulurkan timba ke air. Suap merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun menerimanya sama-sama diharamkan di dalam syariat.
Namun, ada pengecualian yang menurut mayoritas ulama memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh sesorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kezaliman terhadap orang lain. Dalam hal ini dosanya tetap ditanggung oleh yang menerima suap.
Fenomena risywah pun kian menggurita; dari institusi tertinggi, hingga terendah. Meski memang tidak semua institusi berseragam untuk melakukan praktik suap. Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), berapa rupiah yang harus keluar demi tersampainya tujuan dan tak jarang mengabaikan hak-hak orang yang telah berusaha keras menjadi PNS dengan kemampuan maksimal tanpa praktik risywah.
Belum lagi di institusi pelayanan publik lainnya. Contoh nyatanya ialah kantor kepolisian, untuk pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang harus mengeluarkan uang cukup besar agar SIM dapat diproses. Atau bahkan di lingkup yang lebih kecil, yakni kantor kelurahan.
Mendengar keluhan keluarga atau rekan kerja, tak jarang kantor kelurahan memungut biaya yang tak jelas tiap penduduk setempat membuat KTP, perpanjangan, atau karena KTP hilang. Bahkan, masa pembuatan KTP bisa dihargai nominal yang kita berikan kepada petugas. Makin besar biayanya, maka makin cepat KTP selesai.
Sebaliknya, jika kocek yang keluar sedikit, maka entah kapan kartu pengenal itu siap pakai. Satu hal yang lebih mencengangkan, dalam Bribe Payer Index (BPI) atau indeks pembayaran suap pada 2011 yang dilakukan Transparency International, Indonesia menempati empat negara yang melakukan tindak suap terbanyak di dunia. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Allah memerintahkan kita untuk menjauhi hal-hal yang batil, termasuk dalam mencari rezeki. Sebab, jika uang yang kita peroleh dari jalur yang batil, maka akan rusaklah seluruh amal perbuatan juga fisik yang terus disuplai dari makanan dan minuman yang diperoleh dari jalan yang tidak baik. Akibatnya, keberkahan rezeki dari Allah pun hilang.
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud). Dalam hadits lain, dari Tsauban RA, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad). Sementara dalam Sunan At-Tirmidzi, Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum."
Apapun alasannya, praktik suap-menyuap adalah haram sebab sudah jelas dalil naqli yang berkaitan dengannya. Untuk meredam budaya suap menyuap yang kian marak ini, tentunya tidak hanya memerlukan kesalehan dan kesadaran pribadi. Kesalehan dan kesadaran sosial juga sangat memengaruhi terwujudnya perbaikan moral bangsa ini. Allahummarzuqnaa rizqan halaalan thayyiban. Ya Allah, karuniakan kami rezeki yang halal juga baik. Amin.
Ina F
Banten