Senin 07 May 2012 10:16 WIB

'Bayarnya Titip ke Saya Saja'

Kantor Pelayanan BPN
Foto: Republika/Musiron
Kantor Pelayanan BPN

Sembilan bulan yang lalu saya membeli sebidang tanah di Desa Guntung Damar Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Karena tidak membeli keseluruhan bagian tanah maka saya harus memecah sertifikat yang selanjutnya akan dibaliknamakan untuk bagian tanah yang saya beli.

 

Saya belum pernah berurusan perihal jual beli tanah, dengan polos saya ikuti semua prosedur termasuk prosedur untuk mengajukan formulir pemecahan tanah di Badan Pertanahan.

 

Pagi jam 8 awal oktober tahun 2011 (sekitar 7 bulan yang lalu) saya sudah berada di kantor BPN Banjarbaru. Loket kosong karena sang PNS masih sarapan. Satu jam kemudian sang petugas datang. Berkas saya masukan, dan petugas umur setengah baya itu pun menerimanya. Beliau minta nomer HP saya agar beliau bisa menghubungi saya, entah untuk apa. Tanpa tanda terima, tanpa kejelasan, dengan terbingung-bingung saya pun pulang untuk menunggu ditelpon/SMS.

 

Tunggu-menunggu selama 3 minggu tidak ada kabar, padahal standar pelayanan pecah seritifikat hanya 40 hari. Saya pun mendatangi petugas tadi.

Saya datang ke kantor BPN jam 10 pagi karena yakin kalau datang sesuai jam masuk kerja PNS dijamin penghuni kantor itu belum pada datang. Sesampainya di loket, saya menanyakan keberadaan bapak setengah baya yang menerima berkas saya, lalu dijawab oleh petugas berjilbab yang masih muda bahwa yang bersangkutan lagi keluar menjemput anaknya.

Petugas berparas cantik ini juga menanyakan ada urusan apa saya mencari dia. Saya jawab bahwa saya masukin berkas pemecahan tanah. Dengan gampang si petugas ini bertanya "Oh bapak  minta tolong beliau yah?" Saya kaget, ‘minta tolong’? Saya pun menjawab, “Ngga Mba, saya masukin berkas ke loket sesuai aturan aja." Saya pun berlalu

 

Esoknya saya kembali ke kantor BPN, akhirnya bertemu dengan si petugas penerima berkas yang dulu itu. Setelah berbicara dengan tidak jelas dan topik pembicaraan yang tak teratur, di ujung perbincangan beliau mengatakan bahwa tarifnya total Rp 5 juta. Saat saya hendak menuju loket pembayaran, eh tidak ada yang jaga. Bahkan seingat saya memang loket itu selalu kosong. Lalu lewat mana masyarakat yang selama ini mengurus tanah membayar? Saya pun menanyakan pada petugas penerima berkas tadi, sebutlah namanya "Pak Udin".

“Dimana bayarnya pak?” tanya saya. Dijawab, "Titip ke saya saja." Saat itu saya sadar, bahwa inilah yang diminta beliau selama ini. Pak Udin oh Pak Udin… sang abdi negara.

Tanpa tanda terima berkas, tanpa tanda terima pembayaran, sampai saat ini tidak ada kepastian kapan pemecahan sertifikat itu selesai. Selalu saja ada alas an, dan alasan yang paling mumpuni bagi mereka adalah ‘petugas pengukuran lagi sibuk!’ MasyaAllah, manajemen model apa yang dijalankan badan ini, karena ternyata kakak kandung saya di Kabupaten Rantau Kalimantan Selatan dan Kodya Samarinda Kalimantan Timur juga bercerita kalau mereka mengalami pelayanan seburuk ini juga di kota masing masing.

Muhammad Nur

Jl.Pondok bambu No 8 Banjarbaru Utara, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement