REPUBLIKA.CO.ID, Puisi Budi Sabarudin*
1
Ramadan melambai di ujung pintu
Mendadak butir-butir buah ceri merah jatuh
Dari ranting pohon waktu yang lemas dan gemetaran
Semua jenis burung merunduk, berhenti bernyanyi
Semut, nyamuk, kutu, rayap, kaki seribu, keong, dan cacing, terdiam
Gunung-gunung api tiba-tiba membeku serupa es di Atlantik
Angin pun tak mau berhembus, meski hanya sekedar kesiur
Di pekarangan rumah aku berdiri menatap bayang-bayang sendiri
Tersenyum dalam tangis, juga menangis dalam senyum
2
Aku ingat, menjelang Ramadan selalu saja harga-harga sembako
Bagai potongan kertas, daun-daun kering, dan bahkan kapas
Melayang-layang di udara, berterbangan ditiup angin
Beras, bumbu dapur, dan buah-buahan sudah menepi langit
Daging ayam, sapi, domba, dan kerbau pun sudah berada di atas awan
Begitu terus, berulang-ulang, di negeri ini
Setiap bertemu tahun, setiap bertemu Ramadan
Bagai kincir air yang terus berputar
Berputar
Berputar
Para pedagang berlari-lari memburu keuntungan
Mereka kucing panik dikejar-kejar puting beliung dan genderuwo
“O, tak masuk akal buat aku yang hanya pembantu,” kataku
Pada diri sendiri, tanpa bisa protes pada pedagang, apalagi pada
walikota, gubernur, menteri-menteri, dan presiden
“Ah, kalau pun protes, paling-paling protes sama kasur, sama terasi
Dan garam di dapur saja. Tapi kalau pun bener-bener protes
tidak akan dapat apa-apa juga kok, buah-buahan,
Benih-benih pohon padi, atau biji-bijian misalnya.”
Akhirnya demam selalu mendera seluruh tubuhku
Bagai digigit nyamuk Aedes Aegepty, aku pun terbaring di kasur tipis
Dan jika malam datang, tak berdaya, tersiksa dalam gigil
Hidup bagai di dalam kulkas dua pintu yang bagus milik majikanku
`
3
Seperti tahun-tahun sebelumnya juga
Aku tidak akan menyambut Ramadan dengan air mata
Bukankah Tamu Agung itu akan membersihkan jiwa,
hati, pikiran, dan tubuhku dari debu-debu dan luka-luka jalanan?
Aku adalah pembantu, aku dan juga engkau kaum muslim
adalah bagaikan pakaian kotor. Sudah saatnya direndam, dicuci,
Dijemur, dan disetrika di Ramadan ini
Dalam zikirku, di mana pun, ketika masak di dapur,
Mengasuh anak-anak dan menyediakan makan majikan,
Atau menyapu dan mengepel rumah, aku akan terus tersenyum
Seperti bintang-bintang iklan pembersih gigi di televisi-televisi
Lalu melakoni bulan ini dalam rindu menghatamakan Al Qur’an
Dan suatu ketika parasku akan seperti daun-daun bayam
Yang disiram petani di pagi hari, lalu memancarkan cahaya taqwa
Aku pun ingin pohon-pohon kelapa tumbuh dalam hatiku
Atau tak mengapa meski hanya menjadi dedauanan, kangkung, toge, rumput
Kerang, bakau di pantai-pantai, eceng gondok di rawa-rawa
Lumut-lumut yang hidup di batu-batu sungai
Menjadi makanan anak-anak ikan kecil atau beunteur
Asal bisa menatap wajah Engkau dalam setiap shalat
Dan mati khusnul khotimah
4
“Aku ini hanya pembantu,” kataku lagi pada diri sendiri.
Uhh, lihat menjelang Hari Raya Idul Fitri
Ongkos angkutan umum dinaikan pemerintah, tuslag katanya
Itu pun belum tentu aman. Bukankah banyak sopir ugal-ugalan?
Tak terbayangkan betapa menakutkan dan mahalnya silaturahim pulang kampung
Belum lagi harga baju koko, peci, dan sarung buat bapak,
Termasuk juga sandal, baju muslim, dan kerudung buat emak
Sepatu dan pakaian dalam lainnya buat adik-adikku
Harganya dinaikan pedagang ke ujung tangga langit
“Ini bulan panen, bulan mencari untung.
Orang Islam biasanya boros di bulan ini,” kata seorang pedagang.
“Boros itu perbuatan setan. Kita tak ada urusan dengan setan.
Urusan kita ya berdagang, mencari untung,” timpal pedagang lain
Aku mendengar para pedagang itu berkicau
Orang-orang pun mabuk dibujuk rayu diskon-diskon yang berlebihan
Belanja di mal dan super market dibuka hingga larut malam
Aku dibawa menemani majikan, berjalan di belakang pantatnya
Sambil mendorong troli. Tapi tak pernah ditawari belanja apa-apa
Meski dompetnya kulihat begitu tebal
Kartu kreditnya juga tak ubah kartu remi atau kartu gapleh
Padahal ingin rasanya aku membeli kurma buat buka
Dari magrib ke magrib lainnya : Ya, ingin sekali
Menjalankan sunah Rasululullah, cintaku dan jiwaku Nabi Muhammad :
Ketika ta’jil cukup menyantap hanya satu butir kurma
Akhirnya takut tak kebagian diskon-diskon itu
Orang-orang muslim meninggalkan shalat terawih
Masjid-masjid kosong dan kesepian
Mereka juga lupa menenggelamkan diri
dalam dzikir dan membaca Al Qur’an di malam hari
Bahkan kesiangan ketika saur dan shalat Subuh
5
Memang tak ada yang murah untuk pembantu di negeri ini
Tak terkecuali di kaki lima, meski aku dan teman-teman punya Tunjangan Hari Raya
Menjadi TKW di Arab Saudi? Ah tak mau, takut disiksa dan diperkosa
Untuk apa punya harta kalau tak punya kehormatan diri
Orang-orang Arab itu masih saja menganggap pembantu sebagai budak
Memang tak ada yang murah untuk pembantu di negeri ini
Harga semua jenis barang bisa dimainkan kok di meja judi
Segala jenis makanan dan minuman yang dijual dicampur pengawet mayat
O, ada juga yang pakai lilin. Ayam tiren dan daging sapi gelonggongan
pun masih bisa dijual di pasar-pasar tradisional
Bahkan banyak pula yang tidak mendapat sertifikat halal dari MUI
Di sini, di kota ini, semua abu-abu, semua gelap
semua gelap, semua abu-abu, semua gelap abu-abu itu dijadikan putih
Harga tahu dan tempe pun seperti kuda yang tidak bisa dikendalikan
Ah, katanya harga kedelai dari Amerika Serikat naik, gara-gara global warming
Padahal tahu dan tempe itu makanan tradisi bangsa ini
Orang kecil sampai Presiden makan tahu dan tempe juga, bukan?
Di bulan Ramadan pun, pasukan pengemis membentuk barisan
Mereka menyebar ke kota-kota dengan baju gembel
Sepanjang siang dan bahkan malam menadahkan tangan
Mereka membawa dan menggendong anak-anak kecil
Hasil sewaan dan katanya ada juga anak-anak hasil culikan
Mereka datang dari penjuru negeri yang subur ini,
Yang santun ini, yang juga sangat indah ini
Mereka ada dan hidup di lampu merah, di keramaian kota
O… Allahu Akbar……
6
Hey, para penguasa negara yang buta maunya apa sih?
Ah, mau yang enak-enak saja ya, tak mau yang sulit-sulit toh
Kata orang-orang pintar di televisi : Penguasa maunya yang instan-instan
seperti mie keriting. Buktinya lebih memilih import
daripada membangun swasembada kedelai
Dan swasembada beras, konsep ketahanan pangan mereka mirip
penyanyi dangdut yang dinyanyikan di pangung-panggung hiburan kelas teri
Juga mirip badut yang menghibur di pesta-pesta ulang tahun anak-anak
Dan setelah Ramadan pergi, lihatlah keadaan tak semakin baik
Seperti buah-buahan yang sudah lama membusuk,
Atau tumpukan sampah yang tidak diangkut petugas kebersihan
Tak ada sisa-sisa dari muhasabatun nafsi
Astagfirullah… dua hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Menerima suap ditangkap KPK di Semarang
Mereka tak menemukan kunang-kunang dalam jiwanya
Perwira berpangkat jendral juga kesandung kasus korupsi Simulator SIM
Aku pun menangis melihat perempuan-perempuan pintar ditangkap
Dijebloskan ke penjara, diberitakan koruptor puluhan
Dan bahkan ratusan miliar. Aku ingin mengalirkan air susu
Dari sungai-sungai surga ke dalam tubuhnya, ke dalam hidupnya
Anggota Densus 88 juga gugur saat menyergap teroris di Solo
Petinggi partai politik bermasalah dengan hukum tak mau dibui
Mereka juga tak bisa memberikan pendidikan politik pada rakyat
Sampang di Madura pun bergeleora, panas, dan kemudian terbakar
Api juga menyala di kelompok-kelompok genk motor dan kampong-kampung
Atau kelompok-kelompok preman yang hobi dengan kekerasan
Di negeri ini mereka biasa berkelahi untuk urusan lapak
Mereka juga biasa saling melukai anak bangsa sendiri
Ada juga anak-anak berada, berkeliaran pakai mobil,
membawa senjata dan merampok mini market sendirian
Mereka menerjemahkan kejahatan dari inspirasi peperangan game onlie
Ampun….
7
Ah, pendidikan juga bukan untuk kita yang tak punya ini
Guru-guru masih saja senang menerima upeti saat kenaikan kelas atau
Sumbangan Tunjangan Hari Raya dari orang tua siswa
Negara tak menginginkan anak bangsa menjadi cerdas
Kesehatan masih jauh dari jangkauan tangan kita
Pelayan-pelayan itu selalu ketus dan bahkan mudah menghardik
Ketika pasien-pasien dari keluarga miskin itu datang
Padahal rumah sakit umum itu dibangun dengan uang pajak
Mereka juga digaji dengan uang rakyat
Belum lagi kekeringan dan kerusakan lingkungan
Petani membabat padi-padi puso, lalu dijadikan pakan ternak
Sampah-sampah menghiasi jalan-jalan dan pojok-pojok kota
Pasir-pasir laut disedot, tangkapan ikan bagi nelayan makin sulit
Sungai-sungai sudah lama berduka, menitikan air mata
Dijadikan tempat pembuangan limbah industri
Sawah digusur dijadikan pabrik dan perumahan
Petani jadi kuli-kuli bangunan di kota-kota
Warga miskin memamah beras miskin
Penguasa tak butuh menanam padi buat makan sehari-hari
Atau buat ketupat disaat Lebaran
Mereka tertarik mendatangkan beras dari Vietnam
Dan ketupat Lebaran dari Malaysia
Lalu, hutan dirambah, orang utan lari ke atas pohon kelapa,
Dikejar, dibakar, kemudian mati. Alasannya masuk ke pemukiman
Mengancam manusia. Tapi mengapa harus dibakar?
Pedagang tradisional juga diusir seperti binatang
Atas nama perencanaan tata ruang kota agar lebih cantik
Lahannya dibangun mal dan hotel berbintang
Sentra-sentra ekonomi penting dikuasai orag asing
Sumber-sumber kekayaan alam bukan milik negara lagi
Air misalnya malah dikelola negera lain
Rakyat pun membeli air kemasan begitu mahal
Di negeri ini memang tak ada aturan, ya? Ah, suka-sukalah
“Pak Presiden, sebenarnya kita ini sudah merdeka?” kataku, membatin sendiri
8
Kata orang-orang negeri ini sudah maju
Lihat mal ada di mana-mana, tapi tak ada tawar-menawar
Seperti ketika teman-temanku membeli ikan teri,
Jengkol, pete, dan ikan peda di pasar-pasar tradisional
Kata orang-orang juga negeri ini sudah maju
Hotel dan pabrik-pabrik ada di mana-mana
Tempat-tempat hiburan ada di mana-mana
Celana dan baju pegawai negeri bagus-bagus dan mahal-mahal
Gigi mereka bersih-bersih, rambutnya harum-harum
Tiap tahun gaji dinaikan, tunjangan-tunjangan juga dinaikan
Katanya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Di kantor-kantor pemerintahan mobil-mobil
Berjajar di halaman parkir bagai di show room- show room
Ini negeri apa? Aku hidup seperti di rumah panggung
Dengan tiang-tiangnya yang miring dan sudah keropos
Bertahun-tahun dimakan ribuan rayap dan tikus
“Apakah tinggal menunggu waktu akan ambruk ya, Allah?” tanyaku
Aku pun merasakan hidup di dalam kapal
Terombang-ambing dilamun ombak
Dinding-dinding kapal ini sudah retak-retak dan bolong-bolong
Mesinnya pun sudah lama karatan, tak mau hidup lagi
“Ya, Allah … mungkinkah sesaat lagi akan karam?” tanyaku lagi
9
O.. aku tak bisa mencari atau menemukan puisi lagi di negeri ini
Padahal dulu kutemukan di kampungku, sungai-sungai
Jernih, sawah-sawah, ladang-ladang, kebun-kebun,
Musholah, bukit serta gunung-gunung, empang-empang ikan
air terjun, dan senyum para tetangga
guru-guru, kyai, ustad serta ustazah
Aku ini hanya pembantu, aku akan tetap merindukan Ramadan
Meski di negeri dangdut ini orang-orang terus bernyanyi,
Menggoyangkan badan dan pinggulnya sampai pagi
Bahkan mudah menanggalkan pakaiannya
Melupakan agama, menginjak siapa saja
Aku pun tak mampu lagi tersenyum pada matahari,
Pada bulan, pada langit bebintangan, apalagi pada nasib negeri ini
Tapi kusasambut terus Ramadan dengan senyum,
Bukan dengan air mata dari luka-luka negeri ini
Kuucapkan salam ketika Ramadan di gerbang Sya’ban
Kutemui Kekasihku di setiap shalat, kutatap wajah Engkau
Aku berharap seribu bulan jatuh ke pangkuanku
Wajahku kelak serupa bayi atau daun-daun seledri yang hijau
Tangerang, Agustus-September 2012
BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karyanya pernah dimuat koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang. Email : [email protected] ***