Oleh Agus Santoso (Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan)
REPUBLIKA.CO.ID, Sekarang saya akan pergi dinas luar lagi. Melaksanakan tugas untuk mengenalkan ciri-ciri keaslian uang Rupiah dan memupuk budaya menabung bagi masyarakat di pedalaman Kabupaten Jayapura, tepatnya di wilayah Kecamatan Genyem.
Asumsi dilakukannya kegiatan ini adalah bahwa walaupun sekelompok masyarakat tinggal sangat jauh dari pusat ekonomi, namun dalam menjalani kehidupan di jaman modern ini membuat mereka tentu sudah mengenal fungsi uang.
Jadi, tugas ini sekaligus pula mengenalkan fungsi uang yang luas. Money deepening, istilah kerennya, sehingga masyarakat di daerah pedalaman bisa menetapkan harga. Oleh karena itu mereka tidak bisa lagi dibohongi oleh para tengkulak nakal yang hanya bertujuan mencari keuntungan besar semata. Berat banget deh rasanya tugas pendidikan masyarakat ini.
Kami berangkat pagi-pagi sekali dengan menggunakan jeep. Bagiku, perjalanan ke arah Barat dari kota Jayapura pada di hari itu sangat menyenangkan. Setelah melalui teluk Yotefa yang biru cerah airnya dengan pantai teluk bentuk setengah lingkaran yang nyaris sempurna, di jalan hotmix mulus yang berkelok-kelok menanjak, kami juga disuguhi pemandangan alam Danau Sentani dengan pulau-pulau berbentuk bukit-bukit kecil berwarna hijau muda di tengah airnya yang berwarna biru tosca.
Ah ... indah sekali alam maha karya Tuhan ini. Hampir di sepanjang perjalanan, pada sisi kiri kami, kami diberi selingan pemandangan air. Kalau tidak laut biru, danau yang hijau, atau sungai jernih yang berbatu-batu besar.
Gerombolan burung kakatua putih jambul kuning terlihat beterbangan dari kerimbunan pohon yang satu ke pepohonan lain. “Kaaak ... kaaak ... kaaakaaa ...”. teriakannya yang keras dan parau membuatnya menarik perhatian. “Lihat itu burung Yakob banyak sekali ...”, kata pak Sonny, pengemudi kami, meminta atensi sambil menyebut burung kakaktua itu dengan nama lain.
Burung kakatua itu disebut Yakob, karena pada umumnya burung ini, bila dipelihara dan dijinakkan, diberi nama si Yakob oleh pemiliknya. Sedangkan, burung nuri kepala hitam (yang juga species burung asli Papua) umumnya dinamakan si Urip.
Seperti halnya burung Beo, bila dipelihara dengan kasih sayang, kedua jenis burung paruh bengkok ini mampu mengeluarkan bunyi fonetik yang sangat mirip dengan suara manusia, seperti, “Yakob Lapar ...”, “Kakatua ...”, “Urip baik ...”, “Nuri ...”, atau bahkan menirukan suara tawa “ha ... ha .. ha ... ha ..”, tentu saja mereka hanya mengimitasi nada suara tawa sang pemilik yang memelihara mereka. Dalam kehidupan liar, mereka kan nggak mengenal bicara atau tertawa ala manusia ... he ...he ... he ...
Ternyata, gerombolan kakatua itu juga menyerbu ladang jagung. Kasihan sekali para petani. Pohon jagungnya langsung roboh dan rusak. Pantas saja, spesies yang dilindungi ini tetap dikejar-kejar manusia.
Selain karena dianggap sebagai hama bagi petani, juga ada demand yang tinggi dari para “penyayang" binatang di kota besar. Mereka ingin memelihara burung-burung langka ini dengan cara merantainya di rumah, karena burung-burung ini bernilai ekonomis tinggi.
Tak terasa lima jam cepat berlalu. Matahari sudah di atas kepala ketika kami turun dari mobil menuju bangunan semacam balai desa di Jawa. Sebuah rumah sederhana yang mestinya difungsikan untuk berbagai macam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kesan ini ditangkap dari papan nama yang tersusun di depannya yang menerakan berbagai singkatan dalam huruf besar, seperti LKMD, PKK, KUD, POSYANDU.
Penjelasan mengenai pengenalan ciri-ciri uang Rupiah asli berikut macam denominasi yang berlaku, serta fungsi uang dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat, serta pentingnya membudayakan hidup terencana dengan menabungkan sebagian penghasilan disampaikan kepada murid-murid di sekolah satu-satunya di wilayah itu serta kepada aktivis pembina sosial kemasyarakatan.
Banyak pertanyaan yang disampaikan. Itu menunjukkan bahwa mereka senang mengetahui sesuatu yang baru, seperti “tanda air”, “benang pengaman”, dan “uang bisa berbunga”. Apalagi setelah mereka menerima tanda mata dari kami berupa peralatan olah raga dan sound system, rasanya ingin segera bisa main volly, main bola, dan menari yospan (yosim pancar) bersama sambil mengunyah pinang.
Selesai memberi penjelasan tentang uang, bank, dan perekonomian pedesaan, tentunya dengan harapan ada diantara mereka yang tercerahkan untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan ekonomi desa mereka. Kami, ditemani seorang pemuda setempat sebagai pemandu berjalan kaki berkeliling desa.
Tujuannya, agar bisa berdialog dan mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat setempat. By the way, kota Genyem sendiri adalah kota yang sengaja dibangun pada jaman kolonial Belanda, jadi peninggalannya tertata baik. Tapi kami ini berada di desa, jauh dari kota itu, sehingga kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, kalau tidak dikatakan apa adanya.
Sore itu kami sedang berbincang dengan satu keluarga, ketika saya melihat setandan pisang yang sudah masak masih tergantung dipohonnya yang berada di belakang rumah.
“Wah, jarang-jarang nih dapet pisang masak pohon ...”, pikirku yang lantas tak sabar untuk berucap: “Bapa ... dijualkah pisang itu ...?”, kataku seraya menunjuk ke arah rumpun pisang yang dimaksudkan. “Yang mana ... ooo ... yang itu ... bisa ... bisa saja kalo Bapa memang mao ...”, ujarnya. “Ah ... kalo begitu ... berapakah harganya ... bisa tolong ambilkah ...?” aku sepertinya tak sabar untuk segera mencicipi. “Ah ... itu gampang saja ... soal harga juga gampang bapa ...”, jawabnya sambil tersenyum dan lantas melangkahkan kaki menuju rumpun pisang itu.
Crek ... crek ... crek ... kraaak ... ngek ... bruk ... Tak memakan waktu seberapa lama, pohon pisang itu telah tumbang dan teronggok. Dan tak lama pula bapak itu sudah menenteng setandan pisang dan selembar daunnya menuju ke arah kami. “Nah ... ini dia bapa ... ini pisangnya ... dan ini uangnya ...”. katanya mantap sambil menyeringai sedikit terengah. Matanya terlihat bersinar gembira, seperti menunjukkan suatu keberhasilan.
“Lho ... ini maksudnya bagaimana ...”, aku masih berpikir dan mengerenyitkan dahi tanda tidak mengerti, ketika tiba-tiba sang pemandu menyela, “ehm ... Bapa ... maksud paitua ini ... ehm ... Bapa tebar uang merah diatas daun pisang itu penuh-penuh sudah ...”.
Aku masih belum bisa mencerna dengan baik maksud kata-kata si pemandu, sehingga aku menoleh ke rekan sekerjaku.
Ia menjelaskan, “Ehm ... maksud paitua ini, daun pisang ini harus Bapak tutupi seluruhnya dengan uang seratus rupiahan ... uang merah ...”. “Ooo ... begitu toh maksudnya ... jadi lembaran uang ratusan dijejer-jejerkan hingga menutupi seluruh permukaan daun pisang ini ... dan itu adalah harga satu tandan pisang ini ... begitu ya maksudnya ...”, kataku mencoba mengerti tatacara jual-beli yang agak aneh ini.
“Iyo .. iyo ... begitu Bapa ... bisakah ...?”, bapak yang dipanggil paitua itu meminta penegasanku. “Oo ... ya ... ya .. ya ... bisa ... bisa ... tentu bisa ...”, jawabku.
Untunglah di tas kerjaku aku memang berbekal beberapa ikat uang kertas pecahan seratusan alias uang merah itu. Satu ikatnya bernilai Rp.10,000,00, karena terdiri dari 100 lembar.
Aku kemudian segera jongkok dan mulai menyusun lembar demi lembarnya untuk bisa menutupi seluruh permukaan selembar daun pisang dengan ukuran yang tidak terlalu besar itu. Karena beberapakali terganggu oleh hembusan angin, aku minta semuanya untuk ikut berjongkok menghalangi arus angin.
Ah..akhirnya, berhasil juga aku menyusunnya, seluruh permukaan daun pisang itu sudah tertutupi lembaran uang seratusan. Beberapa sudut ditindihi batu-batu kecil untuk menahan dari tiupan angin.
Kuhitung-hitung, semuanya jadi seharga Rp.15.000,00, lumayan, bagiku, aku mendapatkan harga bagus yang reasonable. Sedangkan bagi si penjual, dia merasa senang melihat dan menerima uang itu, bahkan ia menyalamiku tanda sukacita. Well done and it’s really good business.
Setelah transaksi selesai, kami makan pisang itu ramai-ramai, emmh ... rasanya manis dan legit. Kamipun semakin akrab antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagian dari pisang-pisang itu malahan masih bisa di bawa pulang untuk oleh-oleh.
Di perjalanan pulang, transaksi jual-beli pisang itu menjadi topik bahasan kami. Tak habis-habisnya kami semua memuji kearifan lokal penyelenggaraan tatacara transaksi jual-beli yang barusan dipertunjukkan itu. Suatu upaya jenius untuk menjembatani cultural-gap antara budaya ekonomi barter dan budaya ekonomi uang.
Pastinya, dia tidak mengenal hukum ekonomi modern seperti supply and demand atau the invisble-hand, apalagi free market. Tapi toh ia bisa memberikan solusi berupa patokan harga yang reasonable.
Melalui daya rasa yang terasah ia bisa dengan cepat untuk menentukan harga dengan cara menebas daun pisang seukuran apakah kira-kira harga satu tandan pisang itu.
Mengapa ia tidak memilih daun pisang yang paling lebar ukurannya? Agar ia bisa mendapatkan keuntungan yang besar? Dia sebenarnya sangat bisa melakukan tindakan semacam itu, tetapi toh tidak ia lakukan.
Pada situasi itu ia telah dengan sangat berhasil menunjukkan implementasi nilai-nilai kebijakan dan kejujuran seraya menerapkan prinsip negosiasi modern yang kita kenal sebagai win-win solution, kedua belah pihak bisa mencapai kesepakatan dan keduanya merasa puas.
Wah, pokoknya salut banget dah ... kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga ... bravo paitua