Jumat 21 Feb 2014 06:00 WIB

Desa Dadan

Red: Maman Sudiaman
Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawé Setiawan

Desa merupakan titik tolak, dan mungkin juga titik tuju, bagi Dadan Sutisna (36 tahun). Ia lahir, tumbuh, dan tinggal di Kadakajaya, desa di Sumedang, Jawa Barat. Bukit, sawah, dan sungai mengisi lanskap pikirannya. Latar desa muncul dalam cerita pendek dan novel karangannya.

Dalam kenangan Dadan atas masa kanaknya, radio, buku, sekolah, dan jalan aspal menghubungkan desa itu dengan dunia luar, lingkungan sekitar. Radio menyiarkan dongeng, buku menyimpan mantra, sekolah memperkenalkan papan tulis, dan jalan aspal mengirim tembakau ke kota.

Sosok Dadan seakan memperlihatkan cara desa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, terutama dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Dia sendiri, terutama secara otodidak, menggeluti teknologi komputer dan informatika, bahkan menulis buku tentang subjek itu.  Kini dia dapat meninjau desanya melalui Google Earth. Dia pun turut mendorong sesama pengarang Sunda memanfaatkan jejaring sosial buat berbagi karangan. Bahkan dia mendigitalisasikan ratusan teks Sunda buat menyusun kamus.

Istilah terkenal dari Marshall McLuhan, “desa global” (global village) itu, kiranya dapat dilekatkan pada dunia Dadan dengan sedikit modifikasi. Kita tidak hanya melihat jagat yang mengecil oleh media komunikasi. Kita juga melihat desa biografis yang melalui sastra dan jejaring maya dipertautkan dengan keadaan dan masalah mutakhir.  Desa yang dilukiskan oleh Dadan bukan desa yang tenang dan anteng. Di situ ada perselingkuhan dan pengkhianatan. Di situ ada rebutan kekuasaan dan pertengkaran. Bahkan di desa yang dilukiskan oleh Dadan terjadi pembunuhan. Singkatnya, dia menghadirkan desa yang rusuh, gempar, gonjang-ganjing. 

Latar desa seperti itulah yang kita lihat dalam Sabalakana (2013), novel karya Dadan yang terbit beberapa bulan lalu. Sabalakana adalah kata bentukan Sunda yang berakar dari balaka atau “terus terang”. Ungkapan sabalakana sepadan dengan “sejujurnya”.

Novel ini bercerita tentang kekacauan di desa yang terjadi justru karena banyak orang berterus terang. Tak ada lagi rahasia di antara mereka. Namun, dunia, terutama bagian masyarakat yang memegang kekuasaan, sepertinya melihat hal itu sebagai patologi sosial. Pemerintah menangkap dan mengurung penduduk desa yang terkena wabah “sabalakana”.

Novel dibuka seperti cerita detektif. Seorang pria bernama Santana termenung di puncak bukit, dalam suasana senja muram dan hujan deras, di dekat pusara calon istrinya, Rastiti. Hanya beberapa jam menjelang pernikahan, Rastiti terbunuh. Perhatian pembaca dibetot sejak paragraf pertama.

Dalam novel setebal 344 halaman ini, ruas waktu yang melingkupi insiden utamanya hanya beberapa puluh jam. Namun, pengarang terampil memainkan plot sedemikian rupa, terutama melalui rangkaian kilas balik. Cerita menjadi panjang, bercecabang, sejalan dengan kehadiran tokoh-tokohnya.

Sekitar 30 orang tokoh cerita muncul dalam novel yang gaduh ini. Dapat dikatakan, tidak ada tokoh utama. Watak dan peran Santana sama pentingnya dengan watak dan peran Unang Kédi, sahabatnya sejak kecil yang kemudian bekerja sebagai lebai. Kehadiran Rastiti yang memikat pembaca di permulaan cerita sama pentingnya dengan kehadiran adiknya, Gayatri. Boleh jadi, pengarang tidak menghendaki adanya tokoh utama.

Adegan ranjang, juga adegan silat, turut mewarnai deskripsinya. Perbincangan antartokoh cerita sering juga berfungsi memperkuat gambaran latar. Semua diolah dengan bahasa yang lentur dan kosa kata yang kaya. Hingga batas tertentu, pengarang menampilkan adegan-adegan manusiawi itu dengan cara seperti menghadirkan parodi.

Tantangan buat Dadan, saya kira, antara lain terletak pada kesibukan mengurus begitu banyak penduduk desa dalam ceritanya, terutama ketika setiap tokoh mau dikasih peran penting. Dadan seperti kuwu yang mesti bekerja tatkala desa kian banyak tingkah.

Tentu, pembaca tidak harus mengenal Dadan untuk dapat membaca Sabalakana. Kalaupun kenal, belum tentu pengenalan itu mempengaruhi cara mengapresisasi karangannya. Yang pasti, saya sendiri mengenal Dadan sejak permulaan tahun 2000-an. Dalam wawancara dengan saya baru-baru ini, Dadan menuturkan bahwa Sabalakana direncanakan sebagai bagian pertama dari trilogi. Desa Dadan menyimpan banyak cerita, rupanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement