REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie
Menurut sebagian orang, termasuk oleh SBY, Pilkada oleh DPRD dianggap tidak tepat. Tetapi menurut sebagian yang lain, itulah yang tepat bagi negeri bernama Indonesia. Negeri yang banyak pemimpinnya tergiur korupsi, negeri yang suara rakyatnya bisa dibeli dan mudah ditipu janji-janji.
Masih menurut sebagian orang, RUU Pilkada produk DPR membuat kenangan akhir pemerintahan SBY bernoda hitam. Citra besar SBY sebagai seorang demokrat turun. Bila gajah mati meninggalkan gading, maka SBY harus mengukir citra. Maka di hari-hari ini orang menebak-nebak : bisakah Perppu yang dikeluarkan SBY mengukir gading?
Kita bisa mengingat begitu banyak gading yang ditinggalkan orang. Ada gading yang bertahan sampai berabad-abad, tapi lebih banyak gading yang membusuk, dan tidak sedikit gading yang diinjak-injak.
Ada gading berupa patung, bahkan tidak sedikit gading itu disematkan menjadi nama jalan. Ada nama jalan Diponegoro, ada juga jalan Monalisa.
Di Tajikistan pernah ada kota Leninabad, mengenang jasa Lenin. Tragisnya, beberapa hari yang lalu Patung Lenin di Ukraina roboh, bukan karena petir atau topan, tapi dirobohkan. Tidak diiringi sedu sedan, tapi sorak sorai gembira para demonstran. Lenin dulu dipuja, kini diinjak-injak di mana-mana.
***
Orang selalu suka dengan kemasyhuran dunia, mati pun tetap harus termasyhur. Tidak sedikit orang bercita-cita seperti Firaun, ingin dikubur di tempat megah, di Jawa atau Madura dikenal Siti Hinggil (tanah tinggi).
Ada juga yang ingin dikubur di dekat orang-orang spesial, di kompleks spesial. Barangkali muslim sedemikian memiliki sisa keyakinan bahwa berdekat-dekat dengan jenazah kyai, kerabat atau ustad membuat roh menjadi tenang, tidak disiksa.
Islam tidak mengajarkan bahwa hebatnya kuburan menjamin ketenangan penghuninya. Kebaikan yang dibuat untuk mengejar akhirat, dan tidak melupakan dunia (QS. Al Qashash: 77), itulah yang diterima Allah, itulah muslim sejati. Tapi kebanyakan muslim tidak mengindahkan ini.
Mereka membaliknya, “Carilah dunia, jangan lupa akhiratnya” . Tidak heran manusia mencari gading menurut ukuran manusia. Didorong cinta duniawi, para pemimpin mengumpulkan uang dengan melipat uang anggaran negara. Dari lipatan itu dibawanya kerabatnya naik haji, di desanya ia berkurban banyak sapi.
Ketika KPK tidak mencium kebusukan lipatan uangnya, di mata keluarga dan masyarakat sekitar ia dikenal sebagai gajah yang bergading indah.
***
Allah tidak pernah mengajar kita agar mengukir gading yang sempurna di mata manusia. Pandangan manusia tergantung kaca ukuran yang dikenakan. Di mata seorang kapitalis, menyembelih sapi di hari raya kurban lalu membagikan kepada fakir miskin dianggap konyol.
Tetapi efektif dan effisien bila menawarkan jas baru calon anggota DPR yang hendak dilantik. Dari sana mudah mengucur proyek milyaran rupiah.
Kita adalah muslim. Gading indah ukuran manusia hanya semacam gading Lenin, bisa dipatahkan dan diruntuhkan generasi besok atau generasi lusa. Hanya membuat busa di pintu yang salah, di abad yang keliru.
Gading sesuai ukuran Allah, sesuai kehendak Allah, takkan lekang oleh panas, hujan atau waktu. Itu yang menolong kita dari pedihnya siksa neraka. Semoga itu milik kita. Amin.