REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Mohammad Aryananda
Mahasiswa Institut Manajemen Telkom, Bandung
Saat ini kebutuhan alat komunikasi layanan seluler khususnya handphone (HP) sudah mendekati menjadi ”kebutuhan pokok” manusia dari segala profesi. Karena sudah menjadi trend dan bagian dari gaya hidup masyarakat baik yang di kota maupun di desa.
Perkembangan teknologi selular yang dibarengi dengan perkembangan teknologi HP dari berbagai merek, membuat masyarakat mengikuti tren berganti-ganti HP dengan seri terbaru walaupun dengan harga mahal. Perubahan gaya hidup ini juga disebabkan karena pengaruh budaya konsumerisme melalui iklan-iklan HP dan semakin meningkatnya daya beli. Bagi masyarakat modern kehadiran ponsel/HP bukan sekedar menjadi kebutuhan semata tetapi sudah menjadi bagian dari perilaku kehidupan. Karena penggunaan ponsel/HP memberi kontribusi yang cukup besar bagi pengembangan kompetensi sosial dan perubahan interaksi sosial masyarakat, dilihat dari cara berkomunikasi. Kehadiran ponsel/HP yang semakin banyak dan meningkat ternyata lambat laun mengurangi interaksi tatap muka antar individu.
Penyebaran informasi yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka dari pintu ke pintu (door to door) kini cukup melalui SMS. Percakapan dengan tetangga dan anggota keluarga pun bisa dilakukan tanpa beranjak dari tempat duduk. Hal ini disatu sisi kadang menimbulkan kekecewaan-kekecewaan baru karena kemajuan teknologi tersebut tidak diiringi dengan kesiapan mental masyarakat yang menerimanya.
Namun perkembangan jumlah pengguna layanan seluler ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Saat ini jumlah pengguna HP atau layanan seluler di Indonesia sungguh sangat besar. Data Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) yang dihimpun dari 10 perusahaan telekomunikasi di tanah air, menunjukkan penetrasi layanan voice dan SMS di kalangan pengguna seluler Indonesia mengalami kenaikan hingga sebesar 110 persen.
Hingga akhir 2011 lalu, jumlah pelanggan selular di Indonesia telah mencapai lebih dari 240-250 juta pelanggan. Angka ini mendekati jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 258 juta penduduk pada Desember 2010. Perkembangan jumlah pelanggan seluler di Indonesia bisa dibilang cukup fantastis. Tentunya ini bukan berarti hampir semua penduduk Indonesia menggunakan handphone/HP, karena sudah pasti banyak di Indonesia yang menggunakan lebih dari 1 handphone. Melihat harga handphone yang semakin murah di Indonesia ditambah, harga kartu SIM yang murah, ditambah pula dengan kebiasaan yang saya lihat di kebanyakan masyarakat Indonesia untuk menggunakan satu handphone sebagai handphone utama dan handphone tambahan untuk keperluan lain, hal ini tidaklah aneh.
Dari jumlah pelanggan 240-250 juta tersebut, kontribusi terbesar masih diberikan oleh pelanggan prabayar yang jumlahnya mencapai 95 persen. Lebih rinci lagi bahwa angka pemakaian percakapan suara (voice) mencapai 180 miliar menit percakapan dan jumlah SMS yang terkirim mencapai 260 miliar unit SMS, dan jumlah transaksi data mencapai 27 ribu terabyte. Sementara itu dari sisi pendapatan rata-rata per pelanggan (ARPU), operator telekomunikasi rata-rata hanya mendapatkan sekitar Rp 20 ribu per bulan. Tetapi karena saat ini jumlah pelanggan telah melebihi jumlah penduduk di Indonesia, maka sudah pasti bahwa mobile broadband akan menjadi bisnis utama bagi industri telekomunikasi. ATSI memprediksi, tahun 2012 juga akan menjadi tahun layanan data, karena melihat jumlah pelanggan data dan broadband juga meningkat. Layanan data mengalami pertumbuhan lebih dari 100 persen, dan jumlah pelanggan broadband telah capai 70 juta pelanggan. Peningkatan pendapatan dari layanan data ini karena didukung oleh perkembangan infrastruktur yakni peningkatan jumlah Base Transceiver Station (BTS).
SMS Gratis Distop
Sebagaimana diketahui mulai tanggal 1 Juni 2012, SMS gratis ke operator lain dihilangkan dari semua operator GSM atau CDMA oleh Kementerian Kominfo. Sebagai gantinya adalah diberlakukannya kebijakan interkoneksi SMS berbasis biaya. Kementrian Komunikasi dan Informatika menyatakan skema SMS yang sebelumnya berdasarkan Sender Keep All (SKA) tidak berlaku lagi. Metode SKA biasanya dijadikan ajang promosi operator selular untuk memberikan SMS gratis ke operator lain. Dengan demikian, operator pengirim pesan memperoleh pendapatan, sementara operator penerima mendapatkan trafik.
Perubahan skema menjadi berbasis biaya (costbased) ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Kominfo No 08/PER/M.KOMINFO/02/ 2006 tentang Interkoneksi yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan interkoneksi harus berdasarkan biaya. Selama ini interkoneksi layanan pesan pendek atau SMS dilakukan dengan basis SKA dengan pertimbangan trafik SMS antar penyelenggara akan berimbang karena adanya proses balas-berbalas pengiriman SMS. Alasan lain adalah selama ini penerapan skema SKA kerap disalahgunakan, seperti munculnya SMS Broadcast, yaitu penyebaran SMS ke banyak pengguna telepon seluler dan SMS spamming atau SMS yang tidak diinginkan. Di sisi lain, sebagian masyarakat tidak menyadari bahwa tarif murah dan gratis disertai dengan syarat dan atau ketentuan tertentu.
Untuk menjalankan SMS berbasis biaya ini nantinya settlement akan dilakukan oleh Asosiasi Kliring Trafik Telekomunikasi (Askitel). Sementara Kominfo dan BRTI hanya mengawasi prosesnya saja. Sesuai kesepakatan, biaya interkoneksi SMS ini nantinya mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS. Perbedaan antara pola SKA dan cost based adalah SKA memungkinkan keuntungan diambil semuanya oleh operator pengirim SMS. Sedangkan jika berbasis interkoneksi, memungkinkan revenue sharing antara operator pengirim dan penerima. Pola SMS cost based ini dianggap lebih adil bagi semua operator dan bisa menekan pengiriman SMS spam sebagai dampak dari penawaran bonus SMS yang tak terukur dari operator saat berpromosi.
Adapun mengenai kesepakatan harga interkoneksinya nanti dibicarakan masing-masing antaroperator secara B2B (business to business). Dari kebijakan ini ada janji atau pernyataan menarik dari Menkominfo Tifatul Sembiring bahwa pasti tarif SMS tidak akan naik. Siapa yang bilang tarif SMS akan naik, itu tidak benar.
Meski Kementerian Kominfo mengaku aturan interkoneksi sudah dibicarakan oleh operator dan mereka disebutkan setuju, tetap saja suara-suara kekecewaan masih menggaung. Terutama operator di luar 'the big three' (Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata), salah satunya adalah Axis. Mengamati dari perkembangan berita yang ada, kebijakan ini dibuat untuk melawan spamming melalui SMS. Pihak Axis mengaku tidak sepaham dengan adanya kebijakan tersebut, karena SMS gratis tidak serta merta membuat SMS spam menjadi marak karena jumlahnya sedikit. Pihak Axis menyatakan bahwa, kebijakan bonus SMS gratis lintas operator juga mendapatkan aturan yang ketat. Dengan teknologi yang digunakan, satu nomor di Axis bisa dipantau apabila menggunakan SMS gratis dengan tidak bertanggung jawab. Imbasnya Axis berhak membatalkan bonus yang diberikan. Tetapi tetap saja, palu keputusan sudah diketuk regulator.