REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syahrul Hidayat*
Tidak mudah menjadi orang Indonesia bermukim di Inggris. Sering kami mendengar sapaan dari orang Inggris maupun sesama imigran salah menebak asal negara.
“Are you Malaysian?” atau “Are you Philippines?” adalah sangkaan yang sering diungkapkan kepada warga Indonesia. Tak bisa disalahkan, karena Malaysia dan Filipina lebih populer di negara Ratu Elizabeth II yang baru saja merayakan ulang tahun takhtanya yang ke-60 itu.
Malaysia adalah negara Commonwealth atau persemakmuran dengan mahasiswa yang bersekolah di Inggris mencapai 11 ribu orang lebih setiap tahunnya.
Sementara pelajar Indonesia hanya 1.275 pelajar tahun ini. Sementara warga Filipina, dapat dijumpai di berbagai pelosok negara hingga ke kota-kota kecil untuk bekerja sebagai perawat.
Keadaan ini membuat sebagian dari kami gemas karena Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara. Sebenarnya, ada sebagian warga Inggris mengenali Indonesia secara spontan. Sayangnya, spontanitas yang muncul pertama kali itu sering kali berkaitan dengan kekerasan, seperti Bom Bali.
Chatham House, lembaga tanki pemikir (think-thank) terkenal di London, pernah membahas kasus kekerasan dalam satu serial diskusi tentang Indonesia pada April 2012.
Maimon Herawati, pengajar Universitas Padjadjaran yang sedang studi S3 di Newcastle menjadi pembicara di dalam diskusi tersebut, harus bersusah payah meyakinkan pembicara dan peserta diskusi bahwa keadaan sehari-hari di Indonesia tidaklah demikian.
Rendahnya tingkat pengenalan dan anggapan negatif menjadikan ide memperkenalkan Bahasa Indonesia di Inggris menjadi sulit dilakukan. Tidak mengherankan jika ungkapan pesimisme berulang kali diutarakan sebagian peserta pelatihan calon pengajar Bahasa Indonesia yang diselenggarakan atas inisiatif Atase Pendidikan KBRI London, T. A. Fauzi Soelaiman pada tanggal 26 dan 27 Mei 2012.
Basoeki Koesasi, pengajar Bahasa Indonesia di Australia membesarkan hati para peserta dengan menjelaskan perbandingan pengajaran bahasa di Australia dan Inggris. Di Australia tentu lebih mudah menarik minat untuk belajar banyak hal mengenai Indonesia karena secara geografis Indonesia dan Australia berdekatan.
Namun, Pak Bas, demikian beliau biasa dipanggil, mengatakan bahwa ada gejala penurunan minat siswa dan warga Australia yang belajar Bahasa Indonesia. Gejala ini juga merata di negara-negara yang secara tradisional memiliki pusat-pusat kajian Indonesia seperti Amerika Serikat dan Belanda.
Pada saat bersamaan, penerima Bintang Jasa Pratama atas jasanya mengembangkan pengajaran Bahasa Indonesia di Australia itu menjelaskan bahwa negara Inggris akan meningkatkan perhatiannya ke Indonesia terkait dengan besarnya potensi ekonomi Indonesia. Dia mencontohkan kunjungan PM David Cameron ke Jakarta April lalu yang disusul dengan serangkaian kunjungan pejabat setingkat menteri dan anggota parlemen dari Inggris sebagai bukti adanya peningkatan perhatian tersebut.
Saat ini, pihak di Australia gelisah dengan tumbuhnya minat Inggris. Apalagi setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, berkunjung ke Inggris penandatanganan nota kesepahaman dengan pemerintah Inggris di bidang pendidikan dan membuka program kajian Indonesia di University of Exeter. “Karena itu pelatihan semacam ini menjadi inisiatif yang strategis di tahun mendatang,” tegas Pak Bas.
Para peserta pelatihan memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum didominasi oleh pelajar dan ibu rumah tangga. Atase Pendidikan memang tidak menargetkan para peserta pelatihan untuk membangun lembaga profesional tersendiri. Pada tahap awal diharapkan mereka akan menjadi tenaga pengajar privat di kota masing-masing.
Kebutuhan belajar bahasa secara serius hingga saat ini terbatas pada mereka yang akan bekerja di Indonesia. Seorang pengajar bahasa profesional di London mengatakan bahwa sebagian besar murid adalah diplomat yang akan ditempatkan di Indonesia dan pesertanya hanya satu atau dua saja. Hal yang sama dilakukan seorang teman yang pernah memberikan pengajaran intensif selama tiga bulan di sela kuliahnya untuk calon manajer perusahaan Inggris yang akan ditempatkan di Jakarta.
Ben Murtagh, dosen kajian Indonesia di SOAS London, mengatakan jumlah peminat Bahasa Indonesia tidak begitu signifikan. Jumlah mahasiswa yang belajar bahasa di universitas tersebut mencapai sekitar 30 orang setiap tahun dengan setengahnya belajar sebagai pemula. Selain itu, SOAS juga menawarkan kursus bagi masyarakat luas. Jumlah tertinggi, 29 orang, dalam setahun yang dicapai pada 2008-2009 dan terendah 11 orang pada tahun berikutnya. Pada tahun akademik saat ini kelas kursus bahasa baru menjaring 22 peminat.
Melihat hal ini, Pak Bas meyakinkan, bahwa minat itu akan tumbuh perlahan-lahan seiring dengan meningkatnya peran Indonesia secara global dalam politik dan ekonomi. Indikasi ini beralasan, seperti halnya minat universitas-universitas di Inggris terhadap kajian Indonesia.
Kajian Indonesia di Oxford dan Exeter
Hingga kini, telah ada tiga lembaga yang mengajukan proposal untuk membuka kajian Indonesia, dua dari Oxford University dan satu di University of Exeter. Dari Oxford, OCIS (Oxford Centre for Islamic Studies) dan Green Templeton College secara resmi telah menyatakan keinginan membuka kajian Indonesia atau minimal mengangkat seorang dosen yang memiliki spesialisasi di bidang kajian Indonesia.
Sementara itu University of Exeter telah bersepakat dengan Kemdikbud RI untuk untuk mendukung dibuka kajian Indonesia dalam kerangka kajian Islam di bawah IAIS (Institute of Arab and Islamic Studies).
Sejatinya belum ada studi mengenai korelasi antara minat lembaga-lembaga pendidikan tersebut dengan minat di kalangan masyarakat Inggris. Tetapi Jonathan Githenz-Mazer, dosen senior di IAIS, mengatakan, tidak ingin terjebak dalam keraguan apakah ada peminat atau tidak. Sebagai penyelenggara kajian beserta kelas-kelas bahasa dari berbagai negara di Timur Tengah ia meyakini adanya potensi itu untuk kasus Indonesia.
Karena itu, ia berpikir lebih baik segera memulai dengan menawarkan kelas Bahasa Indonesia terlebih dahulu tanpa diganggu oleh perdebatan soal ada atau tidaknya peminat. “Let us testing the water,” tandasnya.
* Penulis adalah Alumnus University of Exeter, Inggris dan Penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan