"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS:Al Hujuraat: 49)
Masih hangat berita tentang agresi militer yang "dimuntahkan" para Zionis Israel ke tanah Palestina. Negara menjadi hantaman dan rakyat pun menjadi korban kekerasan. Korban tiada henti berjatuhan akibat ulah dan kecerobohan. Apa yang harus dikata ketika akal pikiran menguasai hati serta dibumbui oleh ketamakan terhadap duniawai yang kebablasan. Sekiranya perkara ini merupakan salah satu luapan opini umat dan rasa solidaritas meraka terhadap peristiwa yang menimpa rakyat Palestina.
Lagi-lagi dunia dihebohkan dengan perkara kemanusiaan yang tak berujung habisnya. Senada dengan apa yang diungkapkan Presiden Turki Abdullah Gul yang dikutip dari media Voa-Islam Kairo, mengindikasi adanya kepentingan sepihak terhadap perilaku Israel yang bermuara kepentingan politik semata.
Dimanakah letak prilaku sosial umat manusia, ketika ketidakberdayaan dijadikan ultimatum untuk saling menguasai antar belah pihak yang tidak lain adalah benih dari ketamakan manusia saja. Tidak adanya rasa toleransi (tasammuh), saling mengasihi dan menghargai antar sesama, sehingga berujung kepada saling menjatuhkan serta menindas satu dengan lainnya.
Perilaku sosial dalam Islam
Dalam Islam, perilaku sosial merupakan salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam segi bathiniyah diciptakan dari berbagai macam naluri, di antaranya memiliki naluri baik dan jahat. Naluri baik manusia sebagai makhluk sosial itulah yang disebut fitrah, dan naluri jahat apabila tidak dituntun dengan fitrah serta agama akan menjadi naluri yang bersifat negatif.
Dalam Alquran telah dijelaskan mengenai naluri manusia sebagai makhluk sosial dan tujuan dari penciptaan naluri tersebut:
“Kami telah menentukan di antara mereka keadaan hidup mereka di dunia ini, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka daripada sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mengambil manfaat dari sebagian lain.” (QS Az-Zukhruf: 32)
Sejatinya daya tahan naluri manusia terhadap hal-hal jahat (negatif), ditentukan oleh tingkat kedekatan seorang hamba kepada Allah SWT. Senada dengan apa yang dikemukakan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi dikutip dari media Republika, bahwasanya hablumminallah dan hablumminannas adalah cerminan dari tauhid ibadah dan perilaku sosial yang akan membentuk karakter Islami yang spesifik. Karena setiap manusia secara alamiah telah diperlengkapi oleh Allah SWT instrumen-instrumen kemanusiaan yang dapat mengangkat hakat dan martabat manusia itu.
Akan tetapi, perilaku sosial tersebut belumlah sempurna sebelum ada sentuhan tauhid dan ibadah serta nilai-nilai sosial Islam. Hal ini disebabkan, karena manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, namun juga akan hidup dalam kehidupan selanjutnya yakni hidup dalam alam barzakh dan alam akhirat, ungkapnya.
Di lain sisi, Rasulullah Saw telah banyak memberikan contoh dan teladan yang universal tentang perilaku sosial dalam masyarakat. Seperti ketika Rasulullah Saw berada dalam sebuah majelis berkumpul bersama para sahabat, ketika itu para sahabat banyak yang datang dari golongan rendah (miskin). Seperti Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Mereka berpakaian sederhana, kusut dan jubah bulu yang tradisional. Meskipun demikian, merekalah sahabat setia Rasulullah dalam memperjuangkan risalah dan dakwah Islam.
Dalam majelis itu juga hadir para bangsawan. Mereka melihat para sahabat dengan tatapan kurang nyaman karena akan duduk berdekatan dengan rakyat miskin yang tidak lain merupakan sahabat Rasulullah Saw.
Seraya berkata kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah, bisakah kami mendapatkan majelis khusus bagi kami dan tidak bersama dengan rakyat miskin ini. Mayarakat Arab tahu dan mengenal kemuliaan kami. Utusan-utusan dari berbagai Qabilah Arab akan datang dalam majelis ini. Kami sebagai bangsawan merasa malu apabila mereka melihat kami duduk satu majelis dengan rakyat biasa."
Salah seorang bangsawan menegaskan kembali, "Bau Salman al-Farisi membuatku terganggu. Buatlah majelis khusus bagi kami para bangsawan, sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami."
Sehingga turunlah Surat Al-An’am Ayat 52 yang berbunyi:
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim."
Rasulullah dengan tenang meminta sahabatnya untuk duduk lebih berdekatan lagi, merapat dengan lutut Rasulullah Saw. Beliau lalu memulai majelis dengan ucapan "Assalamu'alaikum", seakan menjawab permintaan para bangsawan Quraisy tadi.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Rasulullah Saw untuk selanjutnya selalu berkumpul bersama para sahabatnya. Mereka duduk dalam satu majelis dan berdekatan dengan tidak memandang golongan rendah ataupun bangsawan.
Seringkali beliau mengucap "Alhamdulillah, terpuji Allah SWT yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya lima ratus tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Hingga turunlah Surat Al-Kahfi Ayat 28:
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
Dari kisah di atas, Rasulullah Saw mengajarkan serta memberikan teladan kepada umat mengenai perilaku sosial yang harus ada dalam jiwa umat Islam. Tidak adanya perbedaaan antar golongan, maupun saling menjatuhkan dan saling mengunjing, karena sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa, harta dan derajat seseorang. Allah SWT akan melihat ke dalam hati umat manusia yang bertakwa, Innallah la yandzuru ila ajsadikum, wa la ila suwarikum, wa laiknna allah yandzuru ila qulubikum.
Di sinilah letak Islam sangat menjunjung tinggi perilaku sosial antar umat manusia. Perilaku yang bersifat menindas serta merendahkan martabat manusia hanya untuk kepentingan sebelah pihak semata, sangat dilarang dalam Islam. Dan Islam mengajarkan tasammuh yang lebih universal, tidak memandang dan berpihak hanya kepada golongan tertenu namun kepada umat manusia secara keseluruhan. Itulah perwujudan dari hablumminannas.
Negara-negara muslim seyogyanya peka terhadap aspek perilaku sosial. Hendaknya pula menjadi negeri yang mencerminkan kepribadian serta perilaku sosial bermasyarakat yang baik antara sesama masyarakat dan umat manusia di berbagai negeri.
Hal itupun akan dapat terealisasi, ketika umat manusia kembali kepada ajaran Islam dalam hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Sehingga, dengan keridhaan Allah SWT akan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Wallahu’alam bissawab...
Elvan Syaputra
Peneliti Mizan Institute dan sedang menempuh Program Master
di Universiti Sains Islam Malaysia