REPUBLIKA.CO.ID, Bulan Januari kemarin banjir melanda Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Curah hujan yang tinggi menjadi salah satu penyebab banjir. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyatakan data rata-rata bulanan menunjukkan puncak curah hujan di Jakarta terjadi bulan Januari hingga Februari dengan intensitas maksimal mencapai lebih dari 400 milimeter (gatra.com, 18/1/2013).
Awal pekan lalu (Senin, 4/2) sembilan kelurahan di Jakarta mulai terendam banjir lagi. Ketinggian air mulai dari 10 centimeter (cm) hingga 2 meter, status Pintu Air Katulampa pun sudah memasuki siaga II dengan ketinggian air mencapai 160 cm (megapolitan.kompas.com, 5/2/2013). Pemerintah belum menghitung pasti kerugian yang diderita akibat banjir ini.
Banjir menjadi sebuah fenomena yang dianggap biasa terjadi bahkan semakin parah setiap tahunnya. Sayangnya, walaupun Indonesia sudah berulang kali menghadapi banjir, banjir masih belum teratasi hingga kini. Pemerintah sudah berupaya dengan memperbaiki bahkan membuat bendungan baru, kanal baru, atau membeli pompa baru, namun ini tidak menyelesaikan masalah banjir, hanya merespon dampak yang terjadi akibat banjir. Untuk bisa menemukan solusi bagi fenomena banjir ini, kita harus menelaah terlebih dulu apa saja yang bisa menyebabkan banjir.
Banjir bisa terjadi karena curah hujan yang tinggi dan tidak terserapnya air oleh tanah. Curah hujan merupakan siklus alami yang terjadi, untuk memodifikasinya, ia pun bisa direkayasa dengan teknologi. Sedangkan tidak terserapnya air oleh tanah merupakan akibat dari tidak adanya tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut. Jenis tanaman yang ada pun mempengaruhi penyerapan air pada tanah tersebut.
Sayangnya, sebagian besar lahan yang digunakan sebagai daerah resapan justru dialih fungsikan menjadi perkebunan, atau bahkan perumahan. Semakin banyak tanah yang tertutup oleh aspal.
Hal ini terjadi dipengaruhi oleh pemikiran yang hadir di sistem sekarang ini. Pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan ada tidaknya pemasukan bagi kantung pemerintah, bukan lagi kondisi lingkungan.
Keuntungan secara materi menjadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan. Inilah pemikiran kapitalisme yang menstandarkan perbuatan pada azas manfaat. Tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Sistem kapitalisme membebaskan kepemilikan, lahan-lahan yang seharusnya berfungsi menjadi daerah resapan pun demi keuntungan materi yang didapat para pemilik modal diubah menjadi perumahan.
Berlainan dengan kapitalisme, Islam mengatur kepemilikan, lahan-lahan yang mempunyai pengaruh terhadap kemaslahatan rakyat banyak tidak boleh dimiliki oleh swasta, tapi harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya pemilik modal saja. Islam mengatur perkara tata ruang, pembangunan, konversi lahan.
Dalam Islam kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserah oleh kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya.
Sistem Islam memperhatikan kepentingan ummat secara detail. Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk Indonesia. Rahmat yang dibawa Islam hanya bisa dirasakan dengan menerapkan Islam sebagai sistem secara menyeluruh, bukan setengah-setengah karena antara satu aspek dan aspek lainnya saling berkaitan. Sistem Islam ini juga hanya bisa diterapkan dalam institusi pemerintahan, Khilafah Islamiyah.
Jika kita ingin terbebas dari fenomena banjir ini, maka sudah seharusnya kita menuntut untuk menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Selain sebagai solusi banjir, Islam pun menjadi solusi dalam permasalahan lainnya. Juga sebagai bukti dan konsekuensi kita sebagai muslim yang sudah seharusnya hanya berhukum berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah saja, yaitu berhukum dengan Islam.
Wallahu’alam bish shawab.
Penulis: Fatimah Azzahra
Guru yang berdomisili di Jl. Aeromodeling II No.11 Arcamanik, Bandung