Rabu 26 Nov 2014 12:09 WIB

Mendidik Menembus Waktu

Guru Agung, Direktur Sekolah Guru Indonesia
Foto: Dok. Pribadi
Guru Agung, Direktur Sekolah Guru Indonesia

Oleh: Guru Agung, Direktur Sekolah Guru Indonesia

 

REPUBLIKA.CO.ID, 

BOGOR -- Tantangan terbesar bagi seorang pendidik sesungguhnya bukan terletak pada persoalan mengejar target kurikulum, mencapai standar pendidikan, ataupun menuntaskan semua kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Lawan terbesar yang mesti ditaklukkan adalah iklim perubahan yang tengah terjadi di masyarakat dan dunia.

Guru, selaku pendidik profesional, ditantang agar senantiasa sigap menghadapi setiap perubahan kondisi yang datang menghampiri. 

Metodologi mengajar seorang guru pada akhirnya harus bisa masuk ke dalam dua dimensi waktu: masa kini dan masa depan. Efektivitas suatu pembelajaran tidak hanya ditentukan tingkat penguasaan siswa terhadap materi ajar semata.

Guru juga harus bisa memastikan bahwa materi-materi yang saat ini tengah diajarkan bisa ditransformasi menjadi kompetensi yang dapat berguna bagi kehidupan peserta didik saat mereka dewasa. Jadi, tampak aneh apabila pembelajaran hanya berorientasi pada ujian nasional, bukan pada ujian kehidupan yang harus dihadapi peserta didik pada masa mendatang.

Ketidaksiapan guru menghadapi keniscayaan perubahan tersebut akan menyebabkan pembelajaran kehilangan makna dan substansi.

Pergeseran zaman dan perubahan tentu tidak bisa ditolak, tapi harus dikelola agar setiap peserta didik bisa siap menghadapi perubahan-perubahan selanjutnya. Satu unsur dalam masyarakat berubah, maka unsur-unsur yang lain juga ikut berubah. Sayangnya, perubahan tersebut tidak bisa diperkirakan, terlebih lagi direncanakan. Sebab, perubahan kerap berlangsung secara cepat di luar dugaan semua pihak. Maka, pada titik inilah guru secara sosiologis berperan untuk mencegah terjadinya ketertinggalan dan goncangan budaya (cultural lag and cultural shock).

Tuntutan globalisasi sekarang ini telah banyak mengubah tatanan dunia di segala aspek. Persaingan antarbangsa bukan hanya memperebutkan pengaruh di bidang politik, militer dan ekonomi, melainkan jugadan ini yang jauh lebih strategis penguasaan kanal-kanal informasi.

Barang siapa yang menguasai informasi, maka dialah jawaranya. Jika bangsa ini ingin tampil memimpin, maka generasi muda masa kini perlu dibekali dengan kecakapan mengelola informasi secara efektif sebab kelak merekalah pemain utamanya.

Pada masa mendatang, kita tidak membutuhkan generasi yang sekadar berbekal ijazah pendidikan formal tapi minim kecakapan otentik. Sekolah bukan pabrik pekerja siap pakai.

Banyak pekerjaan pada hari ini yang kemungkinan mengalami kepunahan pada masa mendatang. Ini perlu diantisipasi matang-matang, tak boleh lengah. Pendidikan, dengan guru selaku garda terdepannya, harus bisa menjawab perubahan itu. Pada era tersebut, pendidikan formal tetap menjadi kebutuhan, hanya saja kian tidak menjamin orang untuk cari pekerjaan.

Sekolah lebih difungsikan untuk membentuk jiwa-jiwa muda yang kreatif, bukan penghafal materi.

Berkembangnya industri kreatif yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi akan semakin mudah kita temui pada waktu-waktu mendatang. Tak perlu berepot diri dengan segala kebutuhan, semuanya cukup mencari dari internet. Kita cukup menunggu semua penjuru pulau terhubung dengan jaringan internet, maka lihatlah perubahan apa yang akan terjadi?

Dan masa itu tidak terlalu lama lagi, jangan kaget. 

Begitu pun dengan perkembangan dalam dunia pendidikan, akan mendapati tantangan baru yang tidak pernah ada di masa-masa sebelumnya. Karena itu, pendidik tak pernah bisa berhenti di satu titik yang ajek. Terlebih lagi perubahan di dalam pendidikan juga tidak bergerak secara mekanis lantaran yang dihadapi bukan mesin ataupun robot. Bahkan perubahannya merambah hingga menjadi pergeseran nilai-nilai, ini yang perlu diwaspadai.

Perubahan tersebut tidak bisa berdiri sendiri, ia selalu berhadapan dan berhubungan dengan ranah-ranah kehidupan yang lain. Hal ini memaksa setiap pendidik terus mengembangkan kompetensi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, guru semestinya lebih canggih dibandingkan murid-muridnya. 

Pendidik tidak bisa berdiam diri atas setiap perubahan yang terjadi.

Lagi-lagi guru harus secara cermat membaca situasi. Selain menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satu kemampuan yang dimiliki adalah memantau perkembangan fisik dan psikologis setiap individu peserta didik. Kemampuan berperan sebagai pengganti orangtua juga amat dibutuhkan sehingga porsi sebagai pendidik dan pengajar akan sama-sama terbangun. Terlebih lagi bagi para guru yang harus bertugas di daerah-daerah tertinggal, mereka harus memahami kondisi kultur masyarakat setempat.

Jangankan untuk mengenal teknologi informasi, listrik dan sinyal saja belum menjangkau. Satu hal yang paling memprihatinkan adalah kemampuan literasi dan aritmetika anak-anak di sana yang sangat jauh tertinggal. 

Persoalan utamanya justru bukan pada kondisi geografis yang menantang, melainkan pada hambatan kultural. Rendahnya kualitas hidup bukan karena miskin secara ekonomi, melainkan miskin secara mentalitas.

Meremehkan kualitas serta senang main terabas masih jadi dua mentalitas masyarakat kita yang sulit dilepas. Sudah semestinya ini jadi pokok perhatian dan pokok keprihatinan kita secara kolektif. Ingin dapat hasil dengan cepat tapi enggan memerhatikan prosedur kerap dibuat sebagai satu-satunya alternatif. Lebih baik pilih jalan pintas ketimbang bersusah payah mengikuti kaidah.

Oleh masyarakat kebanyakan hal semacam ini dianggap sebagai suatu kelaziman yang tak perlu dipersoalkan. Inilah tantangan para pendidik di lokasi-lokasi yang jarang dijamah pemerintah.

Padahal, dua mentalitas tersebut bukan hanya dipandang sebagai sumber berkembangnya kebiasaan serba instan, melainkan jugaseperti diyakini banyak pihakakar penyebab permasalahan korupsi di negara ini.

Ya, korupsi tidak hanya terjadi di level pejabat negara, tapi juga menembus hingga ke dusun-dusun. Bila terus dibiarkan, bangsa ini akan terus sulit keluar dari ketertinggalan karena masih rendahnya etos kerja. Menariknya, Profesor Koentjaraningrat, begawan Antropologi Indonesia, menyatakan bahwa dua mentalitas ini justru kian membesar seiring dengan perluasan akses pendidikan!

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement