REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun
(Pengamat Sosial Politik UNJ dan Direktur Puspol Indonesia)
Pada usia 70 tahun Indonesia merdeka, hiruk pikuk politik masih terus terjadi. Di tengah hiruk pikuk itulah hampir tidak ada yang mencermati sisi yang membahayakan dari sistem politik yang sedang dipraktekkan. Semuanya seolah larut dalam euphoria demokrasi yang terus berjalan. Logika stake holders politik masih meyakini jika menang pemilu semua masalah akan selesai.
Dari soal dominasi asing di sektor pertambangan yang mencapai 75 persen, korupsi yang merajalela dengan total kerugian negara mencapai ratusan triliun, hingga utang luar negeri yang mencapai Rp 2.845,25(Kemenkeu, 2015).
Penulis mencermati dengan sistem politik yang saat ini berjalan, pemerintahan akan tetap tidak efektif. Kapabilitas sistem politik saat ini sesungguhnya tidak mampu menghasilkan suatu rezim yang efektif dalam mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan negara.
Mimpi besar mewujudkan tujuan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia itu akan sulit tercapai. Termasuk sulitnya mewujudkan trisakti dan nawacita yang menjadi janji politik saat sebelum Pilpres yang lalu.
Kapabilitas Sistem Politik
Jika kita meminjam perspektif Gabriel A. Almond (1978) tentang kapabilitas sistem politik suatu negara dengan mencermati 6 kapabilitas maka sistem politik Indonesia saat ini berada pada posisi yang lemah.
Bahkan penulis mencermati dari pemilu ke pemilu juga terlihat kapabilitas sistem politik yang sama dalam posisi kapabilitas yang rendah. Gabriel A.Almond mengemukakan semakin mampu sistem politik merespon problem yang ada dalam suatu negara maka semakin maju sistem politik tersebut.
Menurut Almond, setidaknya ada 6 kapabilitas dari sistim politik yang bisa diamati. Keenamnya adalah (1) kapabilitas ekstraktif (kemampuan sistim politik mengelola sumber sumber material dan manusiawi ). Kedua, kapabilitas regulatif (kemampuan sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga),
Ketiga, kapabilitas distributif (kemampuan sistim politik untuk mendistribusikan hal hal material maupun memberi beragam peluang menguntungkan bagi warga). Keempat, kapabilitas simbolik (kemampuan secara simbolik untuk menunjukkan kekuatan atau kekuasaan).
Kelima, kapabilitas responsif ( kemampuan menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik). Dan keenam, kapabilitas domestik dan internasional (kemampuan sistem politik merespon realitas relasi hal domestik dan hal internasional).
Jika kita mencermati kapabilitas sistem politik kita dengan menggunakan perspektif Almond maka fakta tentang dominasi asing di sektor pertambangan hingga mencapai 75 persen, dan kurang lebih 90 persen tanah dikuasai asing (AEPI, 2013) itu menunjukkan bahwa kapabilitas ekstraktif sistem politik kita lemah. Sistem politik tidak mampu menghadirkan regulasi yang melindungi tanah air Indonesia dari dominasi asing.
Efek lanjut dari lemahnya kapabilitas ekstraktif antara lain adalah angka kemiskinan kita yang dalam 9 tahun terakhir tidak berubah secara signifikan berada pada kisaran 12-15 persen.
Kapabilitas simbolik dan kapabilitas internasional sistem politik kita juga lemah dengan menunjuk pada kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia maupun kasus sebelumnya kekalahan diplomatik wilayah Indonesia dari Malaysia.
Secara ekonomi dengan merujuk data utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp 2.845.25 triliun (Kemenkeu,2015) juga menunjukkan lemahnya kapabilitas simbolik sistem politik kita di sektor keuangan.
Kapabilitas sistem politik untuk mengendalikan perilaku warga (kapabilitas regulatif) juga nampak semakin lemah. Konflik sosial sepanjang 10 tahun terakhir ini secara kuantitatif dan kualitatif justru meningkat.
Misalnya jumlah angka konflik sosial yang setiap tahun rata rata meningkat antara 5 sampai 10 kasus dengan jumlah total kasus konflik sosial pertahun rata rata mencapai antara 70 kasus sampai 80an kasus (Kemendagri, 2013). Konflik Tolikara Juli 2015 adalah juga fakta lainya, bahkan makin parah ketika konflik tersebut terjadi antara polisi dan tentara.