REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora RI) Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh membeberkan keterkaitan politik di setiap lini kehidupan.
Kiai yang akrab disapa Prof Ni'am itu mengatakan, politik merupakan bagian dari denyut nadi kehidupan keseharian masyarakat.
Menurutnya, politik tidak bisa disimplifikasikan hanya urusan partai dan politik praktis tetapi komitmen untuk mengisi kemerdekaan juga tidak terlepas dari isu politik.
"Bahkan ketika studi untuk memilih mana kampus yang layak itu juga tidak terlepas dari politik," kata Prof Ni'am dalam kegiatan Ngobrol Politik (Ngopi) di Klub Berkawan Kemenpora RI, Ruang Teater Wisma Kemenpora RI, Jakarta, Kamis (15/8/2024). Kegiatan ini terselenggara bekerja sama dengan MUITV.
Prof Ni'am menambahkan, kebijakan menentukan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terkait dengan politik, karena tidak sekadar kekuatan ekonomi, tapi ada politik pendidikannya.
Dengan demikian, lanjutnya, literasi terkait politik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan setiap individu untuk mewujudkan salah satu tugas utama, sebagai makhluk sosial.
Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan, jelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Republik Indonesia (RI) ada perjalanan reflektif dari aspek kesejahteraan, dan perjalanan predektif kita ke depan.
Dalam egiatan Ngopi yang bertajuk: Dinamika Ideologi Pasca Kemerdekaan Indonesia tersebut Prof Ni'am menuturkan, ketika itu terjadi dinamika idelogi setelah ada proses konsolidasi, proses demokrasi, konsolidasi ideologi pasca proklamsi kemerdekaan Indonesia.
"Para pendiri bangsa ketemu saling berdiskusi, saling jual beli ide, membangun konsensus-konsensus. Konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadikan Pancasila menjadi dasarnya. Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan konstitusionalnya," ungkapnya.
Walau demikian, ketika itu menjadi produk politik yang bersifat dinamis. Sebab, kata dia, fakta sejarah memperlihatkan bahwa Indonesia pernah menjadi negara federal.
"Ketika itu menjadi produk politik juga bersifat dinamis. Fakta sejarah kita pernah (menjadi) negara federal. Kita tidak bisa menutup fakta sejarah itu. Fakta sejarah (lainnya), ada perubahan konstitusi kita," jelasnya.
Di antaranya terjadi perubahan dari Undang-undang Dasar 1945 yang dirumuskan setelah prokmasi kemerdekaan, kemudiaan ada Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
"Kemudiaan sampai Dekrit 1959, ada reformasi bergulir, ada komitken politik untuk mengamandemen UUD. Itu adalah fakta sejarah. Semua aspek itu tidak lepas dari dinamika politik untuk mengkonsolidasikan konsensus-konsensus sesuai dengan tantangan zamannya," paparnya.
Selain itu, Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan terkait dengan memaknai Pancasila di dalam berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, dalam operasionalnya bisa jadi tidak bisa terlepas dari pandangan subjektif di antara kita dan tidak bisa lepas dari dinamika masyarakat yang terus berkembang.
"Sehingga kita bisa telaah ulang, kita bisa melakukan kontekstualisasi, sehingga ketemu pada titik tengahnya. Menjadi konsensus-konsensus nasional kita," paparnya.
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menerangkan, konsensus-konsensus tersebut tidak terlepas dari norma-norma, nilai-nilai keagamaan yang hidup di masyarakat.
Selain itu, dari nilai-nilai kepatutan yang hidup dan dijaga oleh masyarakat, juga bagian tak terpisahkan terkait pemahaman dan implememtasi dari norma ideologi Pancasila di dalam aktivitas kesehariannya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Dr Gun Gun Heryanto mengatakan, politik jangan dianggap di luar dari kita.
BACA JUGA: Wakil Aceh di Paskibraka Nasional 'Dipaksa' Lepas Jilbab?
Menurutnya, banyak yang harus dipahami, selami, refleksikan bahkan beberapa hal menjadi partisipan aktif terkait banyak hal dalam politik.
Terkait Pancasila, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta ini memaknainya dari perspektif komunikasi politik sebagai simbolik konvergen.
Dijelaskannya, simbolik konvergen tersebut merupakan istilah yang dikemukakan oleh Ernets Bormen, seorang ahli psikologi sosial.
"Intinya begini, simbolik konvergen itu bukan semata-mata penyatuan simbol. Tetapi semacam berbagi kesadaran," kata Gun Gun yang juga Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI.