REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukhamad Misbakhun (Anggota Komisi XI DPR RI)
Ada rasa gundah setelah melihat pergerakan rupiah sepanjang Rabu, 23 September 2015. Pada hari itu, nilai tukar rupiah sempat menembus Rp 14.700. Angka tersebut terjadi justru hanya berselang sehari setelah pemerintah bersama DPR menetapkan angka nilai tukar rupiah sebesar 13.900 per dolar AS. Patokan angka itu merujuk indikator asumsi makro ekonomi pada RAPBN 2016.
Bagi saya, volatilitas nilai rupiah pada sepanjang Rabu telah menunjukkan reaksi pasar yang negatif terhadap patokan nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.900. Secara jelas hal tersebut menunjukkan adanya indikasi kegagalan Bank Indonesia (BI) dalam membangun kepercayaan para pelaku pasar.
Ironisnya, respon pasar yang negatif terhadap BI itu justru mengandung resiko yang harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Pada kondisi itu, nilai tukar rupiah sudah under valued karena industrinya banyak ditopang oleh bahan baku dari impor. Tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi tentu saja akan semakin berat sepanjang 2016.
Saya selaku anggota Komisi XI DPR RI sejak awal mengingatkan kepada BI untuk lebih rasional, lebih cermat dan lebih realistis. Terutama dalam menetapkan angka nilai tukar rupiah per dolar AS pada indikator asumsi makro di RAPBN 2016.
Asumsi yang digunakan supaya angka patokan tersebut bisa diterima pasar dan membangun kepercayaan pasar dan dunia usaha. Ternyata angka patokan rupiah yang dibuat BI sebesar Rp 13.900 itu justru direspon negatif oleh pasar. Alhasil, nilai rupiah pun makin terpuruk.
Instrumen kebijakan moneter BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga terkesan sangat konvensional, feodal, tidak transparan dan dijalankan tanpa menerapkan prinsip governence dengan tata kelola yang baik.
Jadi sungguh sangat wajar jika BI telah gagal menjalankan tugas utamanya. Sebuah tugas utama untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Saya tidak akan pernah berhenti untuk mendesak kepada DPR supaya segera berkirim surat kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tujuannya, supaya segera dilakukan audit atas kebijakan moneter BI dalam menjaga nilai tukar rupiah yang kian hari kian mengkhawatirkan.
Saya sangat khawatir cadangan devisa kita akan habis digunakan oleh BI hanya untuk melakukan intervensi pasar tapi tidak membuahkan hasil apapun. Rupiah makin terpuruk. Cadangan devisa negara tergerus. Tapi pendapatan BI dari valas justru akan semakin bertambah dan bertumpuk. Inilah sebuah ironi yang seharusnya dapat disadari oleh seluruh elemen bangsa.