Selasa 03 May 2016 06:37 WIB

Antara Fatwa Agama dan Matematika

Red: M Akbar
Harri Ash Shiddiqie
Foto: istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie (Penulis bermukim di Jember)

Republika Online pada 20 April 2016 menyampaikan beberapa fatwa pada abad lalu yang terasa aneh. Larangan naik sepeda, misalnya, kemudian diralat. Juga radio, televisi sampai ponsel berkamera.

Fatwa diralat telah terjadi ratusan tahun lalu. Imam Syafii yang mahzabnya diteguhi masyarakat Indonesia memiliki qaul qadim (fatwa terdahulu) dan dan qaul jadid (baru). Undang-undang yang telah dipikirkan dan diperdebatkan juga di amendemen.

Pertanyaannya, mengapa pendapat bisa berubah? Jawabannya sederhana: manusia itu tidak hebat. Otaknya terbatas, hatinya getas.

***

Otak manusia yang kecil membuat ilmu pengetahuan terbatas hanya bergerak di wilayah, yang menurut filsafat ilmu hanya mengandalkan rasio dan empiris. Keterbatasan ini membuat banyak misteri dalam ilmu fisika. 

Tentang Big Bang, tentang bagaimana titik singular kecil dalam hitungan detik di 10 pangkat minus 43 mengembang menjadi alam semesta yang kemudian menampilkan batu sebesar gajah sampai segunung? 

Lalu tentang gravitasi. Newton telah menyatakan rumusnya, tak ada yang membantah, tapi dirinya tetap heran. Ia menulis surat kepada temannya, Bently: ''Merupakan hal yang tidak dapat dipahami, ada zat yang tidak mempunyai kehidupan, tanpa perasaan, zat tersebut mempunyai pengaruh terhadap zat yang lain (gravitasi, gaya tarik menarik). Padahal antara keduanya tidak ada hubungannya sama sekali.''

Lebih mencengangkan lagi, baru-baru ini ditemukan bahwa gravitasi itu menjalar seperti gelombang. Dideteksi ilmuwan sebagai "kicauan". Itu tentang jagat alam raya. Di sekitar kita, banyak juga yang misteri. 

Dalam filsafat, matematika adalah anak emas logika. Kalau otak terbatas, logika terbatas, matematika juga terbatas. Mari berhitung.

Semua anak kecil tahu, tiga dikurangi tiga sama dengan nol. Di zaman Phytagoras (550 SM) yang rumusnya dikenal semua anak sekolah, angka nol itu belum ada. Di zaman Rasulullah, angka nol juga belum ada. 

Angka nol dideteksi dan diungkap ilmuwan Islam: Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, saat membuat tabel astronomi. Di abad 12 Muhammad Ibn Ezra, Muslim Spanyol menggambarkan angka nol sebagai bulatan sehingga berderet nomor 1, 2, 3, ...,9 ,0.

Buku Khawarizmi diterjemahkan dalam bahasa latin berjudul, Al-goritmi de numero Indorum. Kini, Istilah al-goritma selalu digeluti pemrogram komputer, sebagai tatanan instruksi sehingga komputer dapat beroperasi.

Istilah itu berasal dari "al-Khawarizm". Buku berbahasa Latin tersebut tepatnya, "Al-Khwarizmi pada Angka dari India". Memang, konsep angka nol telah berkembang di India, tetapi belum jelas dan tepat bagaimana mendudukkannya.

Matematika selalu berubah. Apakah angka nol telah final? Belum juga. Mintalah pada komputer menghitung lima pangkat nol, berikutnya menghitung tujuh juta pangkat nol, hasilnya sama: satu.  

Korupsi atau manipulasi? Andaikan komputer ditanya mengapa, ia bilang malu-malu: ''Saya hanya mengikuti aturan.''

Fatwa ataupun matematika adalah hasil olah manusia, terbatas. Hasil olah manusia tak ada yang pasti. Sehebat apa pun logika, fisika, kimia, semuanya hanya, kata seorang ulama, "pukul rata statistika".  

Itu mulai dari tes DNA, ketidakpastian Heisenberg di mekanika kuantum, sampai sakit perut. Bukankah dokter hanya menduga-duga secara statistika, berdasar pengalaman menangani pasien, lalu diberi obat ini-itu, bisa saja sembuh, bisa juga tidak. Sakit perut, tanpa ke dokter, tanpa obat ... eh, malah sembuh. 

Matematika? Sama sekali tak hebat. Bila tidak puas, tanyakan kepada dosen, berapakah nilainya bila sebuah angka dibagi nol, jawabannya tidak masuk akal: tak hingga.

Ini nilainya berapa? Bohong, konyol, atau tidak pasti. Bila ini ditanyakan kepada profesor, dari balik kacamatanya ia memandang Anda dengan heran, mengapa ditanyakan? Anda lebih heran, apakah Pak Profesor, komputer dan kita, sama bodohnya?

Marilah berpegang: ''Satu-satunya yang pasti adalah apa pun yang disampaikan Alquran. Di sana disebutkan: menjadi tua, lemah, mati, kiamat, surga, neraka.

***

Alquran sedemikian agung. Banyak ulama mencium penuh rasa khidmat dan haru ketika membuka maupun menutupnya. Di sini ada urusan hati, bukan urusan otak, logika. Hati manusia juga terbatas (semoga lain kali bisa diurai di sini)

Alquran adalah petunjuk. Di sana sumber ilmu pengetahuan, tetapi Alquran bukan buku kuliah rangkaian listrik atau biologi. Alquran adalah sumber hukum, tetapi bukan buku peraturan lalu lintas atau undang-undang ketatanegaraan (semoga tidak ada lagi yang bilang: di Alquran tidak disebutkan tentang negara Islam).

Sebagian kecil ilmu yang kita ketahui, dan sebagian kecil pula petunjuk Alquran yang kita teguhi. Kalaupun shalat, kurang khusyuk. Kalaupun masuk supermarket, belanja boros, makan boros.

Kalaupun berkendaraan di jalan raya, sering terburu-buru lalu berkecepatan tinggi, membahayakan, itu setan. Kalaupun ada kemungkaran, mulai dari Siyono sampai reklamasi, kita diam.

Ya Allah ampuni kami. Amin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement