Oleh: Syafbrani
(Ayah Rumah Tangga, Penulis Buku UN, The End)
''Ketika diuji jawabannya, benarnya hanya 20 persen. Untuk itu Anies kembali mengingatkan agar tidak mudah percaya dengan kunci jawaban UN yang diperjualbelikan.'' (Republika.co.id, Rabu, 06 April 2016, 21:01 WIB)
Begitulah bunyi dari berita yang dirilis salah satu media daring nasional ini. Berita tersebut hadir tentu setelah adanya laporan mengenai beredarnya kunci jawaban UN pada pelaksaanan UN tingkat SMA yang berlangsung beberapa waktu lalu.
Ada hal yang ‘menarik’ untuk dicermati dari penyampaian Menteri Pendidikan pertama Jokowi ini. Pertama, terkait kebenaran kunci jawaban yang beredar. Meskipun disampaikan dengan kata ‘walaupun’ hanya 20 persen (sumber lain hanya 10-20 persen). Tetapi itu adalah ‘nilai’ yang dicari.
Jangankan 20 persen. Satu kunci jawaban pasti benar saja yang beredar. Pasti akan ditangkap. Satu jawaban mempunyai pengaruh terhadap nilai yang mereka targetkan. Pasti akan digunakan. Jadi substansinya adalah bukan persentase kebenaran kunji jawaban yang beredar.
Kedua, peredaran kunci jawaban ini sekaligus bukti ada peluang bisnis hitam yang hidup. Meskipun pemerintah mempunyai kekuatan keamanan yang paripurna. Tetap saja tidak mampu untuk menahan deras praktik keculasan yang hadir.
Bahkan dari beberapa laporan terindikasi adanya pungutan biaya dalam pelaksaanaan UN. Sementara UN itu itu dihadirkan telah menghabiskan anggaran negara, daerah, dan sekolah yang tidak sedikit.
Nah oleh karena itu. Jjika ditelisik lebih mendalam. Pemerintah dan kita semua seharusnya mencermati pada ranah mengapa fenomena beredarnya kunci jawaban itu hadir. Jawabannya sederhana. Tidak perlu analisa tim ahli. Yah, semua karena UN itu masih ada. Jelas! Gamblang!
Baca selanjutnya >> Ringkihnya Lembaga Pendidikan