REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti mengatakan bahwa sistem evaluasi belajar yang baru nanti telah mempertimbangkan berbagai pengalaman dalam penyelenggaraan ujian-ujian serupa di masa lalu serta dalam belajar mengajar. Abdul Mu'ti di Jakarta, Selasa (31/12/2024), menyampaikan hal tersebut sebagai respons dari pertanyaan awak media tentang kekhawatiran publik dalam penyelenggaraan ujian nasional, seperti memengaruhi kelulusan, akreditasi sekolah, serta kasus-kasus kecurangan.
"Yang pertama, kami tegaskan bahwa yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi. Jadi, satuan pendidikan yang tidak terakreditasi tidak bisa menjadi penyelenggara ujian nasional. Nah yang kedua, saya tadi sampaikan bahwa yang kami lakukan adalah evaluasi hasil belajar. Nah, evaluasi hasil belajar itu bentuknya bisa bermacam-macam," kata Abdul Muti.
Dia mencontohkan jenis-jenis evaluasi belajar, misalnya Ujian Penghabisan, kemudian Ujian Negara yang diikuti sekolah swasta agar ijazahnya diakui. Kemudian, ada Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), yang kemudian digantikan oleh Ujian Nasional yang sekaligus menjadi penentu kelulusan murid. Setelah dievaluasi, katanya, Ujian Nasional tidak lagi jadi penentu kelulusan, tetapi kemudian ada Ujian Sekolah Berstandar Nasional.
"Kelulusan itu tidak ditentukan dari ujian nasional, tapi ditentukan dari ujian sekolah. Karena, menurut undang-undang yang punya kewenangan untuk menentukan lulusan tidak lulus itu adalah satuan pendidikan," katanya.
Dalam kesempatan itu, dia juga menegaskan bahwa yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi, sehingga yang tidak terakreditasi tidak bisa menjadi penyelenggara. Dia mengatakan ada asesmen nasional (AN) yang berbasis komputer, dengan format sampling dan tidak menjadi penentu kelulusan.
Abdul Mu'ti menyebutkan banyak yang menilai AN belum memadai, mengingat sifatnya yang berupa sampling, contohnya tim Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi yang butuh hasil belajar yang sifatnya individual.
Dia juga menyoroti isu belajar mengajar, yakni soal rapor, yang dinilai sarat subyektivitas, terlihat dari banyaknya guru yang bermurah hati dalam memberikan nilai. Dia mencontohkan, yang harusnya 6 dibuat 9, demi meningkatkan pencapaian murid itu.
"Karena itu, kami sudah mengkaji semua pengalaman sejarah itu, termasuk kekhawatiran masyarakat dan nanti pada akhirnya kami akan memiliki, ini saya buka saja ya, memiliki sistem evaluasi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Nah, tapi sistem evaluasi baru yang berbeda itu seperti apa? Ya tunggu sampai kami umumkan kira-kira begitu," katanya.
Dia menyebutkan sistem evaluasi belajar tersebut siap pada 2026.