REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Shiddiq Baihaqi/Sosialpreneur tinggal di Sidoarjo
Akhirnya, saya memutuskan ikut aksi super damai 212 di Jakarta. Saya nyatakan secara terbuka, bukan untuk gaya-gaya. Tapi sebagai pilihan sikap dan penegasan keberpihakan pada apa yang saya yakini sebagai kebenaran.
Tadinya ada rencana tidak ikut, karena alasan pekerjaan dan kepentingan lain. Tapi saya berubah sikap, justru karena sebab sebagai berikut:
Satu, pemerintah dan polisi yang makin aneh menyikapi masalah ini. Mulai dari penanganan hukum yang (menurut saya) sesuatu, tuduhan makar yang selegende antarmenteri sekabinet, tebar pamflet lewat helikopter yang mengingatkan zaman Belanda dulu, hingga rencana larangan pengusaha bus menyewakan armadanya.
Waktu Jumatan di sebuah masjid di Semarang, takmir membacakan secara lengkap surat dari Kapolsek yang intinya menyerukan tidak usah ikut aksi. Khutbahnya juga mengandung pesan sponsor. Lebih masif lagi, kemarin ulama di kecamatan-kecamatan di Sidoarjo, mendadak diundang acara turba, yang isinya juga sama.
Bagi saya, kok bukan apinya yang dipadamkan, justru sibuk menjaring asap, yang sayangnya malah bikin sesak ummat.
Dua, begitu banyak postingan nyinyir dari teman-teman yang dipengaruhi pikiran liberalis. Secara halus atau kasar. Yang memberi framing negatif secara sistematis, seakan yang tidak ikut aksi itu Islam-nya damai, toleran, NKRI sejati, dan lain-lain. Sementara yang ikut aksi sebagai Muslim yang bodoh, ngamukan, sumbu pendek, intoleran, dan semacamnya.
Ini mengaburkan masalah yang sebenarnya. Sebuah potret yang buram. Karena tak jarang, yang menuding, justru lebih layak menuding diri sendiri. Yang merasa menjadi pembangun, demikian Alquran mengajarkan, adalah yang tidak sadar menjadi perusak.