REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Sholeh, S. Pd (Ketua Umum IMM Jakarta Timur, Pendiri Ulul al-Bab Institute, Anggota Majelis Kader PDM Jakarta Timur)
Fenomena keislaman memang selalu menarik untuk dibahas dan didalami. Tidak hanya mengenai konsepsi Islam dalam lingkup tauhid, melainkan pula perihal Islam dalam kajian keilmuan, baik lingkup ilmu sosial, politik, maupun budaya.
Dalam kajian pekanan Ulul al-Bab Institute, Senin (29/11), dibahas tema mengenai “Paradigma Profetik Islam Pengantar ke Pemikiran Profetik Kuntowijoyo”, yang di dalamnya mencoba mengupas dan mengenal pemikiran Kuntowijoyo.
Istilah kenabian atau profetik dalam ilmu sosial pertama kali dicetuskan oleh sastrawan sekaligus sejarawan, Kuntowijoyo. Sekitar medio 90-an, percik-percik ilmu sosial profetik telah dituangkannya dalam buku Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi yang diterbitkan Mizan.
Kemudian pada 2000-an, Kuntowijoyo dengan tegas menyebut dan menjabarkan gagasannya ihwal ilmu sosial profetik yang kemudian disingkat ISP. Itu terdapat dalam bukunya yang diberi tajuk Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika terbitan Tiara Wacana.
Dari gagasan dan pemikirannya tersebut setidaknya ada beberapa hal yang bisa membawa kita memahami intisari pemikiran dan gagasan Kuntowijoyo untuk dunia keislaman dan ilmu sosial secara umum.
Definisi dan paradigma profetik
Secara bahasa, kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang memiliki arti nabi dan prophetic yang berarti kenabian. Dalam beberapa literatur dijelaskan pula definisi profetik, yaitu tugas atau peran kenabian, memiliki sifat seperti nabi, dan mencontoh nabi (Ahimsa, 2015).
Sedangkan Roqib dalam bukunya Prophetic Education menyebutkan adanya perbedaan antara nabi dan rasul. Menurut dia, peran nabi sebenarnya tak sama dengan rasul yang diberi wahyu dan dituntut untuk menyampaikan ajarannya kepada umat manusia (Roqib, 2011).
Raqib menjelaskan, nabi hanya menerima ajaran dan mengamalkannya, tidak menyebarkan kepada umatnya selayaknya seorang rasul. Meskipun begitu, tugas nabi juga tak kalah berat dari rasul.
Sebab, nabi pun bertanggung jawab terhadap umat. Bentuk tanggung jawab tersebut, yakni dengan mentransformasikan nilai-nilai agama atau wahyu yang diturunkan Tuhan kepadanya.
Hilmy (2008) menyebutkan bahwa nabi memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Tanggung jawab sosial tersebut adalah untuk membawa perubahan atau transformasi sosial.
Hal itu pun mencakup berbagai aspek kehidupan. Maka, seorang nabi mengemban dua tanggung jawab, yaitu membawa misi menghadirkan Tuhan di tengah-tengah ruang publik, meminjam istilah Hilmy.
Akar pemikiran ISP
Kemunculan gagasan ISP berawal dari adanya perdebatan antara kelompok Islam konservatif dengan Islam transformatif. Kelompok konservatif cenderung memaknai wahyu secara letterlijk (tekstual), dari konteks ke teks.
Artinya, setiap peristiwa ataupun fenomena yang terjadi disesuaikan dengan teks-teks wahyu. Kelompok ini kerap dianggap kolot, sukar menerima kemajuan dan perbedaan.
Sementara kelompok transformatif, sebaliknya, yaitu mencoba menerjemahkan wahyu ke dalam konteks-konteks realitas, dari teks ke konteks. Menjadikan teks-teks wahyu sebagai landasan untuk mencapai perubahan sosial dan penyemai kesadaran.
Kelompok konservatif bersifat lebih lentur, tidak kaku, progresif melakukan perubahan, dan berpikir maju. Selain perdebatan kedua kelompok tersebut, pada 2000-an, ada Kongres Psikologi Islam di Solo.
Saat itu, muncul istilah islamisasi pengetahuan yang kemudian membuat Kuntowijoyo merasa tidak sreg dengan istilah itu. Kemudian Kuntowijoyo menawarkan konsep Pengilmuan Islam, yang lebih berorientasi keilmuan.
Menurut dia, hal itu merupakan upaya mendorong umat Islam untuk bergerak lebih maju, dari reaktif ke proaktif. Kemudian Kuntowijoyo menerbitkan bukunya yang diberi judul Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Ia menilai upaya pengembangan paradigma Islam ini adalah dasar untuk mencapai tujuan utamanya, yakni ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke sistem Islam yang kafah, modern, dan berkeadaban (Ahimsa, 2016). Menurut Kuntowijoyo, hal itu bisa menjadikan Islam lebih kredibel bagi Muslim, bahkan non-Muslim.
Upaya pengembangan Islam sebagai ilmu juga merupakan antitesis terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini lebih berkiblat atau berbasis paradigma Barat. Selain latar lokal tersebut, pemikiran Kuntowijoyo juga dipengaruhi dan terinspirasi oleh dua orang tokoh.
Di antaranya, Muhammad Iqbal seorang filsuf sufi yang juga penyair asal India, dan Roger Garaudy filsuf Islam asal Prancis, yang mencetuskan filsafat kenabian Islam dalam kajiannya.
Kuntowijoyo terlihat sepakat dengan pemikiran Garaudy, terutama mengenai sumber ilmu pengetahuan. Menurut dia, sumber atau dasar ilmu pengetahuan bukan hanya akal, melainkan juga wahyu.
Bahkan Kuntowijoyo mengatakan bahwa “wahyu” itu sangat penting, karena itulah yang membedakan epistemologi Islam dengan cabang-cabang epistemologi Barat. Bagi dia, epistemologi Barat (rasionalisme dan empirisme) tampak terlalu sederhana jika dilihat dari perspektif Islam.
Surah Ali Imran 110 sebagai landasan ISP
ISP secara konseptual merupakan tafsir kritis Kuntowijoyo terhadap surah Ali Imran ayat 110, yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Dalam ayat tersebut, menurut dia, setidaknya ada empat hal yang secara mendasar merupakan konsep khairuu ummah (umat terbaik).
Empat hal yang dikatakan Kuntowijoyo terdapat dalam ayat tersebut, yaitu (1) konsep umat terbaik/khairuu ummah, (2) aktivisme atau keterlibatan manusia dalam sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etika profetik.
Umat terbaik dalam ayat tersebut, menurut pandangan Kuntowijoyo, tidak dimaknai hanya pada satu kaum atau golongan pada waktu tertentu, melainkan lebih kepada harapan dan tujuan yang bisa juga dicapai hari ini ataupun esok. Hal itu (khairuu ummah) akan tercapai hanya jika umat manusia melaksanakan tiga hal yang disebut etika profetik, yaitu humanisasi (ta’muruuna bil makruf), liberasi (tanhauna anil mungkar), dan transendensi (tu’minuuna bilah).
Selanjutnya, aktivisme atau keterlibatan manusia dalam sejarah. Aktivisme manusia dalam melakukan transformasi sosial dalam masyarakat merupakan hal yang penting.
Sebab, menurut Kuntowijoyo, manusia harus terlibat aktif dalam perubahan, bukan hanya mengamati dan memahami gejala-gejala sosial. Hal ini pula berkaitan dengan pentingnya kesadaran (consciousness) individu terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Bahwa setiap perbuatan atau perilaku tak terlepas dari kesadaran kemanusiaan dan ketuhanan. Secara sederhana Kuntowijoyo mencontohkan, “Seorang sastrawan yang karya sastranya tidak diniatkan untuk beribadah, maka keislamannya belumlah kaffah (utuh)”.
Artinya, untuk mencapai Islam yang utuh, segala proses keterlibatan manusia dalam masyarakat harus dilakukan sebagai proses ibadah yang dilandasi dan ditujukan hanya kepada Sang Maha Pencipta. Wallahua’lam.