REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: drg. Syukri Wahid *)
Pilkada serentak 2017, yang baru saja yang digelar di 101 daerah, kembali memunculkan polemik di masyarakat. Diskusi terkait demokrasi kembali mencuat. Ada pertanyaan wajib yang dilontarkan para pemilih jalan demokrasi adalah sebagai berikut: "Kenapa mau memakai sistem kufur dalam memperjuangkan agenda langit, bukankah demokrasi buatan barat dan bukan berasal dari ajaran Islam?". Pertanyaan ini jika kita kembangkan menjadi antitesanya sebagai berikut, apakah karena berasal bukan dari Islam maka menjadi haram jika memakainya? Apakah setiap yang datangnya dari luar Islam harus ditolak dan bid'ah jika menggunakannya? Apakah dalam perjuangan risalah dakwah ini harus sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW?
Jika setiap yang datangnya dari luar Islam harus ditolak, apalagi jika produk manusia, maka wajib ditolak. Sekarang mari kita melihat praktik siyasah atau politik pada masa Rasulullah SAW dan beberapa fakta dalam sirah yang bisa membantu menjelaskannya. Namun kita sebut beberapa contoh saja dalam sirah beliau yang Agung.
Tiga tahun Rasulullah hidup dalam status jiwar atau mendapat perlindungan alias jaminan dari satu suku yang dipimpin Muth'im bin Ady setelah Rasulullah pulang dari kota Thaif sebelum hijrah ke Madinah. Jiwar adalah salah satu produk hukum Arab jahiliyah saat itu yaitu pemberian perlindungan nyawa atau suaka politik kepada seseorang.
Orang Quraisy sangat menghormati hukum jiwar tersebut, bagi mereka menumpahkan darah orang yang telah dijamin suku lain, sama saja menumpahkan darah suku tersebut dan jika melanggarnya perang adalah ujungnya.
Sampai menjelang hijrah, Nabi Muhammad SAW hidup di Kota Makkah dalam status jiwar. Karena seluruh jalan hidup Nabi adalah sunnah apakah mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir-nya atau diamnya terhadap suatu masalah akan menjadi hujjah atau dalil.
Lantas mengapa Rasulullah mempraktikkan menerima dan mau menggunakan produk hukum jahiliyyah untuk kepentingan mashlahat dakwah saat itu? Bukankah Allah pasti menjaga Rasul-Nya tanpa jiwar sekalipun? Bukankah dakwah Rasul tak akan hancur tanpa perlindungan manusia tersebut? Bukankan Allah telah berfirman kepada beliau di surat Al Maidah ayat 67 : "...Wallahu ya'shimuka minannas...", yang artinya, "Allah telah menjagamu dari bahaya manusia", tapi dalam ikhtiar kemanusiaan beliau memakai fasilitas produk hukum tersebut.
Kenapa Beliau tidak tolak saja perlindungan itu, apalagi Muth'im bin Ady sampai akhir hayatnya meninggal dalam keadaan musyrik. Saat seorang musyrik yang memberi perlindungan kepada Rasulullah saat itu, kenapa beliau tidak bilang saja, "Maaf Anda kafir dan jiwar juga produk Arab jahiliyyah, saya tidak mau menerimanya."
Mungkin masih ada yang mengatakan itukan bentuknya bukan negara, hanya perjuangan pada skala pribadi, walau itu pendapat yang bisa kita bantah. Baiklah bagaimana dengan menjelaskan peristiwa perang Khandaq tahun 5 H, saat mengalami kebuntuan strategi membela diri dari serangan pasukan Ahzaab sebanyak 10 ribu orang.
Saat itu Salman Ra, Sahabat keturunan Persia mengatakan, “Jika kondisi terjepit maka kami akan membuat parit khandaq. Itu mengadopsi konsep strategi dari luar yang bisa menyelamatkan dakwah saat itu.” Sama halnya dengan Rasulullah minta beberapa Sahabat ke Yaman untuk belajar strategi perang seperti menggunakan alat perang semisal Manjaniq dan dhababah, itu semua produk luar.
Bagaimana kita praktikkan hadis Rasulullah: “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi). Kalau semua hikmah itu kita temukan dalam jalan untuk menjaga mashlahat agama ini, maka ambillah. Kalau demokrasi itu ada celah yang bisa digunakan menjalankan agenda dakwah kenapa tidak.
Lihatlah Turki sekarang pintu demokrasi telah memberikan kesempatan dakwah disana untuk menegakkan wajahnya dalam bentuk negara. Apabila agama telah berjodoh dengan negara, walau diperoleh dari pintu demokrasi.
Apa yang kita maksudkan dengan konsep metode perjuangan dakwah "haruslah sesuai" dengan apa yang di contohkan Nabi Muhammad? Tidak salah memang kalimat ini, bahwa siyasah syar'iyyah atau politik syariat harus sesuai dengan manhaj Rasulullah. Ibnu Taimiyyah menukil perkataan Ibnu ‘Aqil, yang menurut beliau Ibnu 'Aqil adalah seorang yang faqih di bawah kolong langit ini.
"Kalau yang Anda maksudkan siyasah syar'iyah itu sesuai adalah "harus sama" ,maka sungguh itu adalah kekeliruan, namun jika yang Anda maksudkan dengan kata sesuai itu adalah "tidak bertentangan" degan prinsip manhaj Rasulullah, maka itulah pendapat yang benar.”
Karena disitulah letak sifat luyunah atau keluwesan syariat Islam, bisa lentur sesuai dinamika zaman. Ada yang prinsip tak boleh berubah dan ada hal yang bisa fleksibel atau berubah, karena Islam baina tsubuut wal murunah, yaitu Islam diantara sifatnya yang kaku dengan sifatnya yang lentur. Persoalan alat, persoalan sarana dan metode adalah persoalan yang memungkinkan kelenturan ini berlaku.
Tentu kita tolak pemikiran atau ideologi plurailsme barat karena dia merusak hal yang prinsip, tentu kita tolak ajaran marxisme karena dia juga merusak prinsip agama. Jangan memakai kacamata yang sama ketika memandang sarana, alat dan metode dengan memakai kacamata aqidah yang haruslah kaku.
Bagaimana kita menjelaskan dari masa pemerintahan Khulafaa Rasyidin yang empat itu, apakah mereka sama persis dalam ijtihad di masa pemerintahannya dan apakah pilihan kebijakannya sama dengan Rasulullah? Dalam beberapa hal mereka tidak sama persis dengan apa yang dilakukan Rasulullah, tapi yang jelas tidak bertentangan dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah. Metode pengangkatannya saja sudah berbeda dari Rasulullah ke Abu Bakar Ra, dari Abu Bakar Ra ke Umar bin Khattab Ra, dari Umar bin Khattab Ra ke Utsman bin Affan Ra dan seterusnya kepada Ali bin Abi Thalib Ra.
Jika kita bertanya, manakah yang paling sesuai dengan manhaj Rasulullah? Sedanga semuanya berbeda. Itu cuma alat dan sarananya yang beda, yang jelas menghasilkan seorang khalifah atau pemimpin. Wallahu ‘alammu.
*) Ketua Komisi I DPRD Balikpapan