Jumat 24 Mar 2017 06:07 WIB

Memaknai 53 Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Red: M.Iqbal
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta
Foto: Dokpri
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh Ahmad Sholeh *)

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada makruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran 110).

Realitas keumatan hari ini terasa semakin memprihatinkan dan memilukan. Selain persoalan kesenjangan dan ketimpangan sosial yang masih amat kentara, benturan dengan persoalan kepanikan menghadapi pilkada, dengan munculnya kasus penistaan agama, penistaan Pancasila, dan sebagainya pun semakin menunjukkan siapa yang hendak memakan siapa. Apalagi, umat juga harus kembali didera dengan pemberitaan kerakusan para pejabat yang mengantongi keuntungan dari proyek KTP elektronik (KTP-el) yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Tentu, hal itu menjadi bahan renungan dan refleksi bahwa sesungguhnya generasi mudalah yang harus bersiap menempa diri. Untuk kemudian berjibaku membangun sendi-sendi bangsa yang lebih kuat dan kukuh, lebih jujur dan tulus membangun negeri. Hal itu juga berkaitan dengan peran kaum muda yang seyogianya mampu memfilter perilaku-perilaku merugikan di tengah masyarakat. Begitulah kira-kira. Sehingga kemudian kaum muda yang menjadi tumpuan harapan bangsa Indonesia ke depan untuk menjadi lebih baik.

Dalam kolom “Opini” Harian Republika edisi Rabu (15/2), dimuat tulisan yang diberi tajuk “IMM, Politik, dan Peradaban” oleh Benni Setiawan, anggota MPK PP Muhammadiyah. Dalam tulisan itu, penulis mengajak kader IMM untuk melek (atau setidaknya tidak alergi) terhadap politik praktis (real politic). Yang pada dasarnya, mengajak kader IMM untuk menyiapkan diri dengan nilai-nilai luhur untuk menggempur sistem politik yang semakin transaksionis, pragmatis, dan curang.

Namun, apakah tolok ukur keberhasilan membangun bangsa dapat diukur dengan hanya ketika menjadi pejabat publik? Tentu tidak. Membangun bangsa bukanlah perkara perebutan kekuasaan atau politik praktis belaka. Itu hanya salah satu jalan mewujudkan cita-cita bangsa. Entah apakah ini kemudian menjadi bentuk kealergian terhadap politik? Kita memerlukan pandangan yang lebih arif untuk memaknai politik sebagai dakwah bil siyasah.

Dalam Khitah Denpasar (2002) yang berisi khitah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara disebutkan bahwa “Peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan”. Pertama, melalui politik yang berorientasi kekuasaan/kenegaraan (real politic). Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat. 

Kegiatan kemasyarakatan dalam hal ini juga termasuk dalam kegiatan high politics, yang secara tidak langsung, bisa memengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force). Hal ini bisa dilihat dari kiprah Muhammadiyah, yang meski tanpa menjadi parpol (atau berafiliasi dengan parpol) yang berorientasi kekuasaan, mampu membangun kekuatan masyarakat yang cerdas dan mandiri. 

Dalam khittah Denpasar, Muhammadiyah dengan sangat jelas menegaskan memilih jalur pemberdayaan dan pembinaan masyarakat. Hal itu sejalan dengan ciri khas dakwah amar makruf nahi mungkar Muhammadiyah, yang berusaha mewujudkan masyarakat madani (masyarakat Islam yang sebenar-benarnya), yang juga menjadi pilar terwujudnya cita-cita negara yang baldatun thayibatun warabbun ghafur

Artinya, baik pun itu melalui wujud pemberdayaan dan pembinaan masyarakat maupun jalur politik kekuasaan keduanya haruslah memiliki orientasi yang sama. Yakni mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan sejahtera, sebagaimana cita-cita persyarikatan (Muhammadiyah) dan cita-cita luhur bangsa. Dengan tetap memegang teguh nilai-nilai moral, kejujuran, ketulusan, dan kesantunan.

Merawat muruah persyarikatan dan bangsa

Bagi IMM, kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat seyogianya menjadi wujud pengamalan nilai-nilai kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan. Nilai-nilai itu semestinya tersemat dalam diri setiap kader menjadi kepribadian, karakter, dan perilaku yang mampu merepresentasikan nilai-nilai Islam yang hanif dan rahmat. Sehingga, kehadiran IMM mampu menjadi bagian inti dari masyarakat (masyarakat utama).

Tentu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, IMM berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Termasuk dalam urusan politik. IMM (seharusnya) tidak perlu berafiliasi dengan parpol atau terlibat dalam politik praktis (lihat: Deklarasi Setengah Abad IMM – hasil Muktamar Solo). IMM –sebagaimana Muhammadiyah- memandang politik sebagai ilmu, sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Bukan untuk mencari ketenaran, jabatan, maupun harta kekayaan.

Lantas, bagaimana peran IMM dalam kehidupan politik (wabilkhusus politik praktis)? Jelas sekali bahwa IMM sebagai organisasi mahasiswa yang bercita-cita melahirkan akademisi Islam berakhlak mulia, memiliki peran strategis. Peran itu dapat dilihat dari proses penyemaian karakter kepemimpinan kader, dengan adanya profil kader dan trikompetensi dasar (humanitas, intelektualitas, dan religiositas). Artinya, secara etik IMM (sebagai anak kandung Muhammadiyah) memiliki tanggung jawab moral menyiapkan kader-kader –secara individu- terbaik untuk mampu dan layak berkiprah di mana pun –termasuk dunia politik (lihat: Agam, Noor Chozin. Islam Berkemajuan Gaya Muhammadiyah. 2016).

Karakter cendekia yang dicita-citakan para pendiri IMM, seharusnya mampu memberikan kontribusi positif terhadap kepribadian dan perilaku kader. Kader IMM harus mau terlibat dalam berbagai bidang kehidupan dan bergumul dengan masyarakat. Karena itulah sejatinya wujud gerakan intelektual yang membumi dan autentik, yakni berdiri sendiri dan berdasar pada kemurnian, keikhlasan, dan ketulusan. Selain itu, kader IMM juga dituntut untuk mampu memfilter (dan sebisa mungkin menghilangkan) nalar pragmatis dan oportunis yang dewasa ini menjangkiti kebanyakan kaum muda.

Akhir kalam, di usianya yang ke-53 ini, IMM mesti kembali memaknai tujuan awal dideklarasikannya pada 14 Maret 1964 silam. Yakni merawat muruah perjuangan persyarikatan, yang bergerak dalam prinsip-prinsip etis dalam membina dan memberdayakan masyarakat. Dan IMM jangan tergoda untuk masuk ke jalan pasar -meminjam istilah Sani- yang bisa mengubah orientasi gerakan menjadi serbapragmatis itu. Kemudian, nalar intelektual sejati yang dicita-citakan para pendirinya kemudian harus dihayati dan diresapi. Untuk ke depannya IMM-lah yang bisa menentukan kemajuan bangsa, agama, dan persyarikatan. Semoga di usia 53 tahun ini, berkah rahmat Illahi selalu melimpahi perjuangan IMM. Fastabiqul khairat!

*) Ketua Umum IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement