Senin 03 Apr 2017 01:00 WIB

Pilkada, Uang, dan Adu Domba

Peringatan 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti menggelar aksi memperingati Tragedi 12 Mei 1998 di Kampus Universitas Trisakt (Ilustrasi) (Republika/Wihdan Hidayat)
Foto: Republika/ Wihdan
Peringatan 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti menggelar aksi memperingati Tragedi 12 Mei 1998 di Kampus Universitas Trisakt (Ilustrasi) (Republika/Wihdan Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Jauh sebelum Pilgub Jakarta 2012, negeri ini relatif tenang. Riak-riak kegaduhan tidak terlalu kencang. Apa musabab?

Ada dua hal: rezim sebelum ini lebih jago menyembunyikan sesuatu atau yang kedua, rezim sekarang lebih pandai mencipta kebisingan. Dua-duanya sama saja, Islam menjadi bulan-bulanan sasaran dengan pelbagai bentuknya. Rakyat pula jadi penikmat aneka kesengsaraan.

Toh, adanya Pilkada langsung justru dibuat rezim dahulu dengan Keppresnya. Bahkan dibuat jadi serentak.

Munculnya keppres itu pun dibuat dramatis melalui dagelan KMP vs KIH, yang memilah pilkada langsung diteruskan atau dihentikan. Rakyat pun terhipnotis sinetron itu. Pilkada langsung dihentikan. Rakyat girang.

Apa sebab? Sila rinci dengan jujur, banyak mana manfaat dan mudharat pilkada langsung dan kembali seperti dulu. Jawabannya sederhana: UUD 1945 dan Sila keempat Pancasila, jelas menolak pilkada langsung.

Tapi dengan keppres SBY, pilkada jadi langsung seperti saat ini. Kegirangan rakyat cukup berakhir dalam sinetron KMP versus KIH. Maklum, yang digunakan saja UUD amandemen. Walau teriaknya UUD 45.

Lantas, kalau ada yang memisahkan rezim sekarang dan sebelumnya, tentu saja begitu naif. Terlebih, jika menelisik peristiwa-peristiwa masa lalu. Seperti ketetapan 1997, kejahatan finansial, korupsi, pencucian uang, atau bentuk pelanggaran UU lainnya.

Ketika menjejak kawasan Kalimantan, seseorang pernah bilang. "Itu yang memodali Pilkada X, yang sekarang jadi bupati Y." Begitu inti bocoran tersebut. Itu yang dimaksud menunjuk pada pria gempal keturunan.

Kisah-kisah serupa tak asing. Bahkan menjadi obrolan umum di masyarakat. Dari Jawa sampai Papua. Pemodal kandidat di ajang pilkada pun bermacam-macam. Terbanyak pengusaha.

Ada banyak kisah seputaran modal memodali yang terkait pilkada. Bagi sebagian orang, pilkada adalah proyek. Dari yang umum sampai khusus.

Misal proyek pemesanan kaos, bendera, spanduk, banner, stiker, sampai percetakan baliho super jumbo. Ini umum, sah-sah saja.

Nah hal khususnya, seperti proyek peredaran uang palsu, proyek pengerahan massa kampanye, proyek mengamankan bisnis, ajang cuci uang, sampai proyek penggiringan opini via; media massa, sosial media dan survei.

Yang terakhir ini menarik. Bagaimana dahsyatnya proyek memainkan strategi psikologi massa melalui sosial media. Kita mengenalnya dengan buzzer. Jangan tanya bayarannya. Anda sudah bisa menebaknya sendiri.

Yah walau tak melulu dibayar uang, tapi bisa kursi empuk di BUMN. Paska Pilpres 2014, sudah banyak bukti tim sukses yang sukses mendapat kursi empuk. Banyak pula bukti tercipta ragam dinasti.

Dinasti di daerah, menjadi bukti lainnya. Bahkan, seperti diberitakan pelbagai media di Kaltim, kini di Balikpapan yang dikenal kota nyaman mulai menyeruak upaya itu.

Adik kakak yang dikenal juragan minyak berlabuh di parpol berbeda, tapi sama-sama jadi ketua di partainya masing-masing.

Padahal aturan partai jelas: saudara kandung tak boleh menjadi ketua di parpol berbeda. Kasus serupa di lain daerah pernah terjadi, tapi akhirnya salah satunya mengundurkan diri. Beda dengan yang di Balikpapan.

Ah, masa bodoh aturan partai. Toh dapat diskresi dari pusat. Masa bodoh etika. Yang penting ada uang. Yang satu mau mencalonkan di pilkada daerah tetangga Balikpapan. Yang satu sudah jadi wakil kepala daerah di 'Kota Minyak'. Jadi teringat kisah Dinasti Atut, yang melegenda, itu.

Hebat kan pernak pernik pilkada? Apa itu salah? Jangan buru-buru memvonis mereka. Jangan tergesa-gesa menyalahkan pilkada. La wong kita ikut menyetujui.

Inilah salah satu konsekuensi UUD 1945 yang diamandemen. Konsekuensi pilkada langsung. Konsekuensi menyalahi Pancasila yang katanya diagungkan tapi malah dinafikan.

Konsekuensi lain yang harus diterima ketika kita hanya bisa jadi penonton menyaksikan: perselingkuhan pengusaha, penguasa dan aparat.

Tapi, konsekuensi yang mengerikan adalah terbelahnya anak-anak bangsa. Pecahnya perang fisik antar para pecinta buta yang mendewakan tokohnya. Polarisasi atau terbelahnya anak Ibu Pertiwi makin kental saat ini.

Bahkan berpotensi mengancam keamanan di ajang Pilkada 2017, terutama di Jakarta. Ada yang mengemasnya menjadi perang ideologi sampai perang agama.

Dalam putaran pertama telah membuktikan: Ahok didukung suara gereja dan afiliasinya. Tentu didukung para Cina. Tak peduli saat kampanye ditolak dimana-dimana. Tak peduli etika. Yang penting ada uang.

Potensi mengulang tragedi '98 begitu besar. Terlebih gaya-gaya playing victim yang amat jorok dan menjijikan. Semisal, yang baru-baru ini ramai di sosial media.

Maraknya stiker bertuliskan: Pribumi, yang ditempel di mobil-mobil. Kurang ajarnya, yang menempel menggunakan baju kemasan Islami. Tak tanggung-tanggung, baju itu tulisannya: Hidup mulia atau syahid. Jika ini dibiarkan, benar-benar bisa mengancam keamanan di masa mendatang.

Design sistemik pecah belah begitu mengerikan. Apa iya pilkada langsung justru mencipta proyek baru: belah bambu. Yang penting, sekali lagi, ada uang.

Sampai kapan kita diadu domba? Sampai kapan pilkada langsung diteruskan? Sampai kapan umat dan rakyat menjadi korban, tapi suaranya selalu dibutuhkan? Kapan UUD 1945 dikembalikan?

Barangkali ini menjadi rentetan konsekuensi lain. Yakni, peringatan Langit lantaran nikmatnya kita melahap aneka transaksi riba dalam kehidupan.

Mungkin juga konsekuensi betapa kotornya jiwa kita. Ukhuwah yang tampak terlihat apik di permukaan seperti 411, 212, 313, substansi kekuatannya begitu rapuh. Sangat rapuh. Buktinya untuk mengalahkan satu penista agama justru berujung pada kehinaan dan ketidak adilan berulang.

Apa tidak bisa gunakan srtategi lain selain turun ke jalan? Gaungkan dan jalankan serempak keharaman riba seperti digaungkannya Al Maidah yang fenomenal itu.

Tak elok membela satu ayat, tapi menafikan ayat lainnya. Atau mungkin kita memang senang menjadi budak riba? Kita memang hobi mengotori jiwa kita sendiri? Shalaallahu alaa Muhammad.

 

*) Pemerhati masalah sosial

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement