Oleh: Ruchman Basori *)
Polemik kebijakan Lima Hari sekolah (LHS) atau Full Day School (FDS) di kalangan masyarakat kian memanas. Masyarakat semakin kecewa dengan ngototnya Mendikbud Muhadjir Efendi atas kebijakannya itu. Sepintar-pintar Mendikbud Muhadjir Effendi membungkus LHS atau FDS, masyarakat akan dengan jeli melihatnya hanya sebuah kedok untuk memperkuat pendidikan karakter. Bahkan lebih dari itu merupakan upaya sekularisasi pendidikan di Indonesia.
Fakta bahwa pendidikan karakter hanya sebagai alasan atau layaknya bungkus, dapat dibaca kenekatan kalangan Kemdikbud yang tetap akan menjalankan kebijakan LHS pada tahun ajaran baru yang dimulai pada 17 Juli nanti. Alih-alih membatalkan kebijakan LHS yang tertuang dalam Permendikbud 23 Tahun 2017 tersebut malah akan ditingkatkan lagi menjadi Peraturan Presiden.
Di berbagai tempat dan kesempatan, Menteri Muhadjir mengatakan bahwa kebijakan LHS yang didasarkan pada Permendikbud 23/2017 adalah untuk penguatan pendidikan karakter anak bangsa. Padahal, menurut hemat saya, dari 11 pasal dalam Permen itu tidak ada yang secara spesifik membahas tentang pendidkan karakter. Pasal demi pasal membahas tentang pemenuhan beban kerja guru. Tapi, anehnya, Permendikbud itu yang selalu dijadikan argumen untuk pendidikan karakter.
Pertanyaannya, apakah produk Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT, Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) dan Pondok Pesantren yang selama ini menjadi gawang pendidikan karakter bangsa ini kurang hebat dengan pendidikan karakter yang ada di sekolah? Bukankah masyarakat Islam itu sudah dengan legowo menyempurnakan pendidikan agama dan karakter yang selama ini sangat kurang pada sekolah yang hanya dua jam seminggu?
Sekularisasi pendidikan
Secara substantif kebijakan LHS atau FDS yang ditolak oleh masyarakat dimana-mana, tidak mencerminkan ikhtiar serius Kemdikbud untuk penguatan pendidikan karakter. Malah sebaliknya, peran masyarakat yang telah berpartisipasi ikut memperkuat karakter, moral dan akhlak selama ini, malah dinihilkan.
Melalui MDT, TPQ dan pondok pesantren, masyarakat selama ini telah menanamkan saham yang tak ternilai harganya untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang religious, berkarakter serta loyal terhadap bangsa dan negaranya. Negara nyaris tidak mengeluarkan dana yang sebanding dengan output yang dihasilkan lembaga pendidikan keagamaan Islam itu. Karena mereka lahir, tumbuh dari oleh dan untuk masyarakat secara mandiri.
Kalau demikian, agaknya ada agenda terselubung dari orang-orang tertentu di balik kebijakan FDS. Lebih tepatnya ingin memisahkan antara antara pendidikan nasional dengan agama. Peserta didik lambat laun tidak akan dikenalkan agama dengan baik tergantikan dengan pendidikan karakter yang belum jelas wujudnya. Dengan kata lain, akan terjadi sekularisasi pendidikan di negara kita.
Adalah Peter L Berger mendefinisikan sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol religius. Berger menegaskan, sekularisasi merupakan fenomena global masyarakat modern.
Pada waktu itu, akibat dominasi gereja, maka dibelahan bumi Eropa terhadap pandangan ingin memisahkan antara agama di satu sisi dengan dunia di sisi lainnya. Namun, saya kira beda dengan di Indonesia. Di mana agama telah menjadi dasar fundamental, sumber nilai dan inspirasi untuk berpikir, bersikap dan berperilaku dalam hamper di semua sector pendidikan.
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan produk-produk turunannya sudah sangat jelas mengatakan bahwa pendidkan nasional sangat religius. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 misalnya, dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Memisahkan pendidikan nasional dengan dasar religius, tidak saja akan mengkhianati the founding father bangsa ini, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat undang-undang. Selain dari itu pengabaian atas hak-ahak kemanusiaan sebagai bangsa yang beragama. Jangan semua urusan hajat bangsa ini akan ditangani oleh pemerintah, namun harus mampu berbagi dengan baik dengan rakyat sebagai model pembangunan yang berpartisipatif.
Pendidikan karakter vs LHS
Penolakan atau bahasa halusnya peninjauan kembali atas kebijakan LHS atau FDS akan terus digelorakan oleh kalangan masyarakat terutama yang terkena dampak langsung yaitu MDT, TPQ, dan pondok pesantren. Ini bukan masalah konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua organisasi besar yang selama ini menjadi rujukan penting pendidikan Islam. Tapi ini masalah fundamental dasar-dasar pendidikan bangsa ini.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus jujur, kalau ikhtiarnya memperkuat pendidikan karakter, tidak harus dengan kebijakan LHS. Namun, dengan mengoptimalkan pendidikan nasional yang berbasis karakter dan kecakapan hidup sebagaimana inti dari kurikulum 2013 (K13).
Kenapa, misalkan, tidak dengan cara menambah jam pelajaran pendidikan agama yang hanya dua jam seminggu. Itu jauh lebih realistis dan pasti akan didukung oleh masyarakat. Tuntutan agar pemerintah menambah jam pelajaran agama sudah lama disuarakan, namun pemerintah tetap kekeh sampai hari ini. Dengan tambahan jam pelajaran agama, tidak saja akan menambah porsi yang cukup bagi pengembangan karakter peserta didik, namun juga pendidikan agama akan semakin mendapat porsi yang semestinya.
Masalah moral, karakter dan akhlak erat kaitannya dengan keteladanan (uswah hasanah). Mestinya pemerintah melalui Kemdikbud, Kemenag dan Ristek Dikti mampu mencetak guru dan calon guru yang mampu menjadi tauladan bagi peserta didiknya, tidakn saja di sekolah namun juga di masyarakat. Tak kalah pentingnya adalah profil para pemimpin dan tokoh negeri ini harus menjadi contoh (modelling) bagi anak-anak bangsa yang kini sedang tumbuh besar menyambut Indonesia yang lebih baik.
Hal lainnya yang tak kalah penting adalah revitalisasi kurikulum pendidikan nasional. Seluruh mata pelajaran harus diarahkan pada penciptaan peserta didik yang mempunyai keluhuran budi dan kemualiaan akhlak. Belajar Bahasa, Matematika dan Teknologi tidak melulu pemindahan pengetahuan dan ketrampilan (transfer of knowledge) namun juga pemindahan nilai (transfer of value). Agaknya cita-cita ini sejalan dengan konsep K13 sebagai kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum).
Terakhir agar pendidikan karakter tidak sekedar 5HS maka penciptaan suasana dan kultur sekolah perlu diciptakan. Guru yang menjadi teladan, peserta didik yang mempunyai semangat belajar, perpustakaan yang mendukung, kepemimpinan sekolah yang berpihak pada perubahan serta masyarakat yang mencintai sekolah dapat terejawantahkan dengan baik.
Sekali lagi pendidikan karakter bukan Lima Hari Sekolah tetapi ikhtiar serius membenahi pendidikan nasional. Tujuan berdimensi jauh ke depan menciptakan para pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Mengerti masalah dan tahu bagaimana mengatasinya. Rakyat kita makin cerdas maka susunlah kebijakan yang cerdas pula dan berpihak kepada masyarakat bukan malah mengebiri kepentingan-kepentingannya.
*) Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor