REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Hadi Saputra
Sebuah kisah diceritakan Pak Parlindungan Marpaung dalam bukunya yang berjudul 'Half Full-Half Empty'. Terdapat seorang tukang kayu yang bekerja di perusahaan kontruksi perumahan yang sudah merasa lelah dan ingin istirahat menikmati sisa hari tuanya bersama keluarga. Suatu hari, ia mendatangi bosnya dan bermaksud ingin pensiun dini. Mendengar hal ini pemilik perusahaan agak sedikit kecewa karena si tukang kayu adalah salah satu karyawan terbaiknya.
Di sisi lain, niat si tukang kayu yang sudah bulat sehingga sang bos merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kemudian berusaha memohon kembali kepada si tukang kayu untuk bisa membuatkannya sebuah rumah lagi sebagai karya terakhir yang bisa dipersembahkan kepada perusahaan. Dengan rasa terpaksa di dalam hatinya, si tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan si bos. Pikirnya, si bos tidak mau rugi sedikitpun bahkan pada saat-saat terakhir dirinya dipekerjakan.
Hati si tukang kayu pun tidak sepenuhnya tercurah pada pekerjaan. Ia bangun rumah tersebut dengan bahan sekedarnya dan bekerja ogah-ogahan. Alhasil, rumah pun selesai dibangun dengan tidak optimal dan ia mengakhiri kariernya dengan tidak maksimal.
Si tukang kayu kemudian memberikan kunci rumah yang telah selesai ia bangun kepada si bos seraya mohon pamit untuk segera pensiun. Si bos pun menyalami si tukang kayu seraya mengucapkan terima kasih dan berkata, "rumah yang engkau bangun itu untukmu."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Malu dan menyesal dirasakannya sewaktu menerima kunci rumah yang telah dibuatnya sendiri. Seandainya ia tahu bahwa rumah tersebut akan diberikan untuknya, tentu ia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Itulah kehidupan yang penuh dengan misteri.
Dalam kehidupan, menjadi baik saja kadang tidak cukup. Yang diharapkan adalah menjadi hebat. Selalu memberi yang terbaik tidak hanya muncul dari kata-kata tetapi disatukan dengan hati, pikiran, dan tindakan sehingga energinya akan lebih terasa. Untuk mendapatkan energi tersebut paling tidak ada tiga hal yang perlu kita perhatikan.
Pertama, keinginan yang kuat. Keinginan merupakan tonggak dasar yang harus ditancapkan. Bagaimana mau mencoba kalau keinginan saja tidak ada. Bagaimana mau jalan kalau melangkah sajapun tidak. Maka buatlah keinginannya dimunculkan lebih dahulu. Keinginan yang kuat adalah keinginan yang tinggi dan ada gambaran untuk meraihnya, bukan tinggi tapi mengawang-ngawang (tidak jelas).
Hal ini disampaikan seorang trainer bersama saya ketika mengisi satu acara talkshow motivasi di salah satu televisi lokal di Yogyakarta. Capailah cita-cita Anda setinggi gedung berlantai 13. Anda tahu tingginya dan tahu untuk naik ke atasnya (bisa pakai lift, tangga, tali bahkan memanjat ). Bahkan capailah cita-cita anda setinggi atap rumah, tahu tingginya dan tahu naiknya. Hindarilah seperti, "Capailah cita-cita anda setinggi kursi," karena hal itu terlalu mudah dan tidak ada tantangannya. Maka jadilah pribadi yang memiliki keinginan yang tinggi dan mengerti caranya.
Kedua, intropeksi diri. Pribadi yang kuat adalah pribadi yang mengerti tentang dirinya dan kemampuannya. The Art of War, sebuah buku kuno Cina yang berisi strategi militer mengatakan, "Jika engkau mengetahui siapa dirimu dan mengetahui siapa lawanmu maka engkau akan menang." Maka pahamilah kemampuan kita dan perbaiki terus kelemahan yang kita dimiliki. Caranya bisa saja kita fokus pada yang kita mampu terlebih dahulu, kembangkanlah, buatlah jadi sesuatu yang bisa terlihat orang lain. Daripada memikirkan sembilan kelemahan yang dimiliki, mengapa tidak memperkuat satu kelebihan yang dimiliki?
Kelebihannya ditonjolkan, kelemahannya terus dibenahi. Saya yakin setiap pribadi memiliki impian yang selama ini diharapkan namun belum berhasil menggapainya.
Sewaktu saya SMA rasanya ingin sekali menjadi penyiar radio seperti ayah saya. Tetapi keadaan tidak memungkinkan karena ayah saya lebih menyukai saya bekerja pada perusahaan swasta. Namun impian itu masih tetap ada, dan sudah mulai saya dapatkan, memang tidak sebagai penyiar radio tetapi menjadi pengisi acara di radio. Menurut saya tidak ada masalah karena masih ada kaitannya dengan radio (dan suara saya masih tetap terdengar ). Tetaplah pelihara impian anda dan suatu saat saya yakin anda akan mendapatkannya. Yakinlah.
Ketiga, Bersyukur dengan apa yang diperoleh. Tidak ada salahnya kita membandingkan diri kita dengan dengan orang yang kesuksesannya lebih baik dibanding kita, asalkan itu dijadikan sebagai motivasi pribadi. Tetapi apabila itu dijadikan sebagai membanding-bandingkan secara materi apa yang didapat dan diperoleh maka sebaiknya jauhkanlah hal itu dalam pikiran bahkan perbuatan kita.
Setiap pribadi akan memperoleh hasil sesuai dengan usaha yang dilakukannya. Mungkin saat ini kita belum mendapatkan semua hal yang kita inginkan. Daripada pusing memikirkan itu, lebih baik menerima dan bersyukur terhadap apa yang sudah kita peroleh. Rasa syukur itu akan menambah nikmat yang diberikan oleh yang Maha Kuasa. Sehat dan sukses selalu.
*Kaprodi S1 Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan & Urusan Internasional, Universitas AMIKOM Yogyakarta