REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mashudi SR, Direktur Institute for Democracy and Justice (IDJ)
Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018 sudah memasuki fase pendaftaran pasangan calon (paslon). Ini berarti mulai sekarang sampai hari pencoblosan enam bulan ke depan, dunia politik Tanah Air diramaikan informasi dan pemberitaan politik.
Ruang publik baik darat, udara, maupun lini masa menjadi wadah mengampanyekan paslon sendiri sekaligus menegasikan paslon lawan. Keramaian politik tersebut tidak hanya ada di 171 daerah yang melaksanakan pilkada.
Di saat sama, tahapan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden 2019 sedang berproses di seluruh nusantara. Karena itu, tepat bila tahun 2018 disematkan sebagai tahun politik. Sudah bisa dibayangkan bagaimana riuhnya ruang publik dengan beragam informasi politik.
Baik yang menyejukkan, memanaskan situasi, yang valid maupun yang hoaks. Sebagaimana pilkada-pilkada sebelumnya, dinamika politik dengan tensi meninggi tidak bisa dihindari. Persaingan antara paslon yang cukup ketat, menyita energi.
Bahkan dalam beberapa hal mengundang kekhawatiran. Masing-masing pihak melakukan semua hal, meski harus menabrak aturan hukum dan kepatutan moral. Di daerah tertentu, seperti DKI Jakarta, perebutan kursi DKI 1 dan 2 sudah seperti pertarungan hidup-mati.
Bukan hanya bagi partai pengusung/pendukung tetapi juga bagi pendukung masing-masing kandidat. Yang dijual bukan hanya ketokohan paslon dengan segala kelebihannya atau gagasan dan program masing-masing.
Hal yang dianggap sensisitif, seperti agama dan suku pun dijadikan amunisi untuk menyerang lawan. Tidak lagi tampak beda antara kampanye negatif dengan kampanye hitam, terutama yang berseliweran di media sosial.
Dampak model pemenangan yang demikian masih bisa dirasakan saat ini, meski pilkadanya sudah berlalu. Kebencian yang terbangun, terutama di antara pendukung kedua belah pihak, khususnya pendukung di lapis bawah, belum bisa terhapus sama sekali. Walau diyakini tensinya menurun.
Ini berbeda dengan politisi partai pendukung/pengusung. Mereka bisa sangat cepat berdamai dengan kenyataan. Sebab, bagi politikus, tidak ada lawan dan kawan yang abadi, kecuali kepentingan politik.
Berkaca pada pilkada model DKI lalu, banyak yang berharap agar parpol dan tim pemenangannya tidak mereplikasi cara dan strategi yang digunakan. Selain tidak mendidik secara politik, risiko sosial yang harus ditanggung begitu besar.
Bukan hanya masyarakat DKI saja, tetapi serepublik ini. Karena itu, cara berkompetisi ala Jakarta yang panas dan cenderung tidak sehat, diyakini kecil kemungkinannya bisa terjadi pada pilkada kali ini karena dua hal.
Pertama, sosok yang diusung bukan yang kontroversial. Kedua, tidak kongruennya pola koalisi partai pengusung/pendukung pada Pilkada DKI dengan pilkada sekarang, terutama di daerah besar seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.