REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya/Editor ROL
Ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah mengantre di depan loket pengurusan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, tiba-tiba mengamuk. Mereka membakar plastik dan melempar batu ke dalam area gedung KJRI. Peristiwa anarkis tersebut terjadi pada hari Ahad (9/6) sekitar pukul 18.00 waktu setempat.
Diduga mereka berlaku anarkis karena diprovokasi oleh pihak yang mengatakan bahwa hari itu (Ahad, 9/6) adalah hari terakhir pengurusan SPLP. Padahal, sesuai jadwal, pengurusan baru akan berakhir 3 Juli mendatang. Kewajiban untuk mengurus SPLP ini ditujukan bagi para TKI yang masa izin tinggalnya habis (over stay) di Arab Saudi.
Mendengar kabar tersebut, ingatan saya langsung melayang ke sosok Pak Didin, seorang sopir taksi yang pernah mencari penghidupan di Jeddah. Perkenalan saya dengan Pak Didin terjadi di dalam taksi yang saya tumpangi dari kantor menuju rumah. Untuk mengusir rasa kantuk, selama dalam perjalanan saya mengajak ngobrol sang sopir taksi yang diketahui bernama Didin ini. Dari cerita Pak Didin inilah saya mengetahui sisi lain dari kisah para pahlawan devisa negara itu.
Menurut penuturan Pak Didin, nasib tragis yang dialami para TKI tidak terlepas dari sikap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang dinilainya kurang tegas. ''Misalnya, ada TKI yang diperkosa majikannya. Sebelum TKI tersebut melaporkan kejadian tersebut ke pihak KBRI, si majikan yang memperkosanya sudah terlebih dahulu datang ke KBRI sambil membawa pengacara dan sejumlah uang untuk damai," papar pria paruh baya yang pernah bekerja sebagai sopir di Jeddah selama dua tahun ini.
Kondisi berbeda justru diperlihatkan oleh Kedubes Filipina di Arab Saudi. Kedubes Filipina dinilainya lebih tegas dalam melindungi kepentingan dan hak para tenaga kerja asal Filipina di Arab Saudi. ''Petugas Kedubes Filipina tidak mempan disuap, makanya tidak ada orang Arab Saudi yang berani kurang ajar sama tenaga kerja wanita Filipina," ujarnya.
Ketidaktegasan pihak KBRI ini pulalah, menurut Pak Didin, yang membuat banyak TKI yang bermasalah dengan majikannya memilih untuk kabur dan tinggal di bawah kolong jembatan di Arab Saudi. Cara seperti ini, diakuinya, terpaksa ditempuh rekan-rekannya sesama TKI di Arab Saudi mengingat mereka tidak memegang uang satu sen pun. Sementara untuk pulang ke tanah air dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Dengan menggelandang di kolong jembatan ini, harapan mereka cuma satu, yakni ditemukan oleh petugas polisi Arab Saudi dan diserahkan ke pihak KBRI untuk kemudian dideportasi," kata Pak Didin.
Sementara untuk bertahan hidup selama tinggal di bawah kolong jembatan, para TKI tersebut terpaksa menjual paspor miliknya ke seorang penadah. Oleh sang penadah, setiap buku paspor TKI tersebut biasa dihargai 300 riyal Saudi. Alhasil, selain hidup menggelandang para TKI ini juga bermukim di Jeddah tanpa mengantongi surat-surat dokumen yang resmi.
Namun, ungkap Pak Didin, tidak sedikit juga para TKI yang lari dari rumah majikannya ini terjerumus ke dunia prostitusi dan kehidupan malam di kota Jeddah. ''Ketika menggelandang, mereka secara tidak sengaja ditemukan oleh penyalur tenaga kerja ilegal dan ditawari kerja di bar dan klub malam dengan iming-iming gaji yang besar," ujarnya.
Keberadaan kehidupan malam di kota Jeddah ini diketahui Pak Didin tanpa sengaja, saat ia mengantar majikannya yang merupakan seorang bankir di Jeddah ke sebuah night club (klub malam). Menurut penuturannya, klub malam tersebut berada di ruang bawah tanah (basement) kediaman teman majikannya.
Mengenai kehidupan malam dan dunia prostitusi di kota Jeddah ini, pada 2011 lalu Wikileaks pernah merilis bocoran laporan resmi Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jeddah. Godaan duniawi kini tersedia di Jeddah, Arab Saudi. Alkohol, narkoba, dan seks kini tersedia, tetapi tegas di balik pintu tertutup. Demikian bunyi laporan yang dibocorkan Wikileaks.
Wanita penghibur yang bekerja di bar dan klub malam di Jeddah, menurut Pak Didin, tidak hanya berasal dari Indonesia saja, namun juga tenaga kerja asal Filipina, Bangladesh, dan Pakistan. ''Kalau yang dari Indonesia biasanya orang Indramayu dan Sukabumi."
Mendegar cerita Pak Didin, saya hanya bisa menyimpulkan, kisah sedih dan tragis yang dialami para TKI di luar negeri sepertinya tidak akan pernah berkesudahan. Cerita memilukan para buruh migran ini jika dikemas dalam format sinetron mungkin sudah memasuki episode kesekian ratus.