Kamis 12 Mar 2015 06:07 WIB

Desas Desus Dana Parpol

Parpol/ilustrasi
Foto: antara
Parpol/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ilham Tirta

Serangkain isu pelik melanda bangsa Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Sejak pemilihan presiden 2014 lalu, bangsa ini tak luput dari perkara sensual yang menguras tenaga dan pikiran masyarak secara luas. Tidak ada yang benar-benar selesai. Semuanya menggantung begitu saja, di kertas koran, majalah, buku catatan pejabat, dan setiap kepala warga Indonesia.

Awal pekan ini, masyarakat menunggu serangkain penyelesaian, keputusan-keputusan yang dianggap ampuh untuk menyelesaikan masalah yang ada. Ada kasus Partai Golkar yang menggantung di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (telah diputusakan Selasa), kasus Komjend Budi Gunawan yang dininabobokan di meja Kejaksaan, kasus hukum yang dipaksakan pada sejumlah komisioner KPK, memanasnya hubungan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dengan Parlemen-nya soal APBD, dan eksekusi mati di Nusakambangan. Hiruk pikuk domonstrasi dan aksi dukung mendukung pun masih dilakukan di bundaraan HI.

Namun, apa yang terjadi? Alih-alih menuntaskan masalah yang ada, pemerintah malah kembali melempar bola panas kepada khalayak: Negara akan memberikan bantuan anggaran Rp 1 triliun untuk setiap partai politik. Pro dan kontra pun mulai bermunculan. Lengkap sudah.

Sebuah pernyataan berani itu dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo pada Senin (9/3) dengan dalih sebuah rencana. Alasannya sangat bijak, intinya supaya partai politik di Indonesia sehat untuk beranak pinak, melahirkan pemimpin tanpa korupsi.

Tapi, apakah benar pernyataan itu keluar sebelum dibicarakan secara resmi seperti pengakuan Wakil Presiden Jusuf Kalla? JK terlihat kaget ketika ditanya terkait rencana itu. Bahkan, dia lebih menunjukan sikap tidak setujunya daripada memantapkan rencana Mendagri.

Jika benar belum dibicarakan, berarti anggaran untuk partai ini masih jauh dari konsep dan langkah teknis sehingga berpotensi blunder. Apalagi, sistem pengelolaaan dan pertanggungjawaban keungan partai selama ini sangat semrawut. Harus ada mekanisme yang jelas peruntukan dan penggunaan anggaran tersebut. Ujungnya, laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah dan kesiapan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keungan (BPK) harus disepakati.

Karena itu, wajar jika niat Mendagri yang terkesan terburu-buru menyampaikan pendapat tersebut diragukan. Rencana itu terkesan sebagai penyambung konflik agar opini publik terus teralihkan. Sebab, sikap politikus senior PDI Perjuangan itu yang tiba-tiba bermurah hati kepada partai harus dicurigai. Apakah hanya sekadar memperkeruh kondisi bangsa atau sebuah kesungguhan.

Saya menilai wajar jika JK kaget mendengar anggaran jumbo dari pertanyaan para pewarta. Karena pada 2008 lalu, dana anggaran semacam ini pernah diberikan pemerintah. Namun, jumlah bantuannya kecil dan disesuaikan dengan jumlah kursi yang didapat setiap partai di parlemen. Pemberian anggaran itu sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang mengatur sumber dana partai bisa dari sumbangan kader partai dan APBN atau APBD.

Saat itu, rata-rata partai mendapatkan sekitar Rp 1,5 miliar. Penggelontoran anggaran negara itu akhirnya dihentikan setelah menuai protes dari berbagai element masyarakat. Karena itu, munculnya kembali wacana bantuan anggaran partai dengan jumlah Rp 1 triliun ini menyentak khalayak. Hal ini akan menambah panjang daftar kekecewaan masyarakat terhadap pemintahan Jokowi. Janji kesejahteraan rakyat yang diucapkan Jokowi pada saat pencalonan presiden lambat laun semakin jauh dari kata realisasi.

Sebenarnya, masalahnya bukan haram dan tidaknya negara menganggari partai, apalagi sudah ada legitimasi dari hukum dasar, tapi ini masalah perioritas pembangunan. Masih banyak yang harus dibangun dan diperbaiki di bangsa ini. Daripada menggelontorkan dana puluhan triliun untuk partai, sebaiknya pemerintah mempercepat pengaliran listrik bagi 10 juta rumah tangga di Indonesia yang masih hidup dalam kegelapan.

Pemerintah tidak mungkin tidak tahu bahwa setiap tahun ada 1,5 juta anak di Indonesia yang tidak bisa sekolah karena kemiskinan. Belum lagi sistem jaminan kesehatan masyarakat yang belum berjalan maksimal. Toh, selama ini para kader partai tetap bergaya parlente walaupun pemerintah tidak mengucurkan dana.

Saya melihat masalah ini tidak sesederhana arti harfiah sebuah pemberian bantuan, perawatan partai, dan segala tetek bengeknya. Kalau kita sedikit melirik ke belakang, Februari lalu ada sentilan yang menyatakan telah terjadi deal-dealan anggaran antara pemerintah dan parlemen.

Di saat masyarakat terlena dalam hingar bingar KPK vs Polri, badan anggaran dengan leluasa mengesahkan RAPBN Perubahan 2015. Dana kurang lebih Rp 21 triliun hasil efisiensi anggaran kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada November 2014 dimasukan dalam rancangan anggaran itu. DPR sendiri mendapat Rp 1,6 triliun untuk penambahan staff ahli, sebuah keputusan yang sebenarnya miskin rencana dan terkesan mengada-ada, tetapi tidak ada yang protes. Para aktivis yang biasanya berteriak lantang pun telah disibukan dengan kepentingan yang lebih besar; penyelamatan lembaga anti rasuah.

Saya tertarik dengan pernyataan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Jeirry Sumampow yang mengatakan dana Rp 1 triliun itu merupakan uang tutup mulut untuk partai. Alasannya, anggaran negara tidak tepat jika diberikan kepada partai yang mengawasi kinerja pemerintah lewat DPR. Karena kita semua tahu bagaimana konstelasi politik pascapeperangan politik 2014.

Menguatnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di muka pemerintahan baru bukanlah langkah tanpa niat. Masing-masing 'mummi' Pemilu 2014 itu ingin menunjukan kekuatan dan eksistensi politiknya.

Penulis sendiri sangat sepakat dengan adanya dua kubu yang saling berdinamika, dimana KIH sebagai penyokong pemerintah akan mempertimbangkan keberadaan KMP sebagai oposisi kritis dalam setiap kebijakan yang diambil. Namun, sikap waspada diperlukan mengingat perilaku politikus di Indonesia yang minim kepercayaan.

Penulis tidak ingin mengatakan rencana Mendagri itu kurang tepat, apalagi menganggapnya salah. Namun, adakah sebuah jeda konflik di pemerintahan Jokowi-JK, yang saban hari terus bermunculan? Bijakkah membuat keputusan yang menggiurkan bagi partai di saat masyarakat berduka melihat KPK yang babak belur dikriminalisasi.

Atau keputusan ini sekaligus mengonfirmasi pernyataan Pengamat Kebijakan Publik, Ichsanudin Noorsy, bahwa Indonesia memang sedang diatur agar tetap berkonflik? Bahwa di luar sana ada koorporatokrasi yang menjadi kaki tangan kapitalisme dan sedang berusaha menghindar dari pantauan kaum kritis seraya mencengkeram pasar Indonesia kuat-kuat. Jika itu benar, betapa malangnya bangsa ini.

Terkait itu, mari sedikit merefleksi kebijakan kenaikan BBM 2014 yang kontroversial itu. Kebijakan itu kontroversial karena Pemerintahan Jokowi-JK menaikam BBM justru di saat harga minyak dunia turun, sebuah langkah yang belum pernah diambil oleh pemerintah mana pun di dunia ini. Lebih dari itu, kebijakan itu syarat dengan praktik neolib.

Harus diakui, perbedaan harga minyak subsidi dan non-subsidi sebelum kenaikan harga BBM cukup jauh, antara Rp 6.500 (premium) dan Rp 10.200 (pertamax) atau Rp 3.700. Menariknya, ketika harga premium naik, pertamax malah turun sehingga jarak harganya tinggal Rp 1.400. Dengan rentang harga yang tipis, penjualan pertamx pada saat itu meningkat sekitar 200 persen. Penulis berharap, negara berekonomi demokrasi ini tidak akan menyerahkan nasib rakyatnya kepada pasar. Wallahua'lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement