The have not tersingkir dari pusat kota. Dengan demikian pertanyaannya, Kota Jakarta milik siapa?
REPUBLIKA.CO.ID, Aturan zonasi dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi memberi pil pahit bagi warga di sepanjang Sungai Ciliwung. Meski mereka memiliki kartu tanda penduduk (KTP) resmi DKI Jakarta, membayar PBB, memegang bukti kepemilikan tanah, mereka dianggap ilegal oleh Pemerintah Provinsi pimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Salah satu contohnya adalah Yayasan Al Irfan Syamil yang terletak di RT 02/01 , Balekambang, Jakarta. Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tersebut terletak di Gang Eretan 2, Jalan Raya Condet. Di yayasan itu, berdiri raudhatul athfal (taman kanak-kanak), taman pendidikan Alquran (TPA), hingga majelis taklim untuk kaum ibu.
Sebagai sebuah yayasan, Al Irfan Syamil memiliki seratusan santri dan belasan tenaga pengajar. Yayasan yang beraktifitas mulai tahun 80-an ini mampu mengentaskan buta baca Alquran pada masa orde baru. Di tengah bantuan pemerintah yang sangat minim, Al Irfan masih tetap beraktifitas hingga sekarang.
Al Irfan Syamil pun bukan lembaga odong-odong yang hanya mengharapkan bantuan lewat pembuatan proposal. Lembaga ini memiliki semua syarat pendirian yayasan yang diakui hukum. Mulai akta notaris, bukti kepemilikan tanah, nomor pokok wajib pajak (NPWP) hingga surat domisili.
Hanya, seiring diberlakukannya Perda No 1 Tahun 2014 tentang aturan zonasi, yayasan ini bersama 200 an kepala keluarga yang hidup di gang tersebut dianggap ilegal. Surat domisili yang sebelumnya dikeluarkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tak bisa diperpanjang. Alasannya, separuh wilayah dari gang tersebut termasuk zona hijau.
Tidak adanya surat domisili sama saja mengecap yayasan tersebut ilegal. Yayasan pun sulit mengakses dana dari pemerintah dan lembaga-lembaga sosial. Padahal, murid TK yang belajar di Raudhatul Athfal hanya orang-orang kecil macam tukang ojek, kuli bangunan hingga tukang nasi uduk.
Gang Eretan 2 memang berada di bantaran kali. Lewat lampiran peta dalam perda tersebut, setidaknya 70 persen gang itu termasuk zona hijau. Daerah itu mirip dengan huruf U. Ciliwung mengalir sepanjang huruf itu. Meski begitu, banjir baru mulai melanda wilayah tersebut pada 1996. Sebelumnya, tak sekali pun ciliwung meluap ke rumah-rumah warga di Eretan 2 yang tinggal di daerah itu sejak tahun 70-an.
Lewat patok-patok proyek normalisasi, sebenarnya masih banyak rumah yang lolos dari rencana penggusuran. Termasuk yayasan Al Irfan Syamil. Patok tersebut masih berjarak sekitar 15 meter dari bangunan. Namun, adanya perda yang menyatakan bahwa sebagian besar gang masuk zona hijau berkata lain. Warga setempat seakan dicap ilegal. Ketika ilegal, bangunan pun akan disebut liar. Sedangkan tidak ada ganti rugi untuk penghuni bangunan liar.
Pihak kelurahan setempat menyarankan kepada yayasan untuk pindah. Sebatas saran tanpa ada usul tempat yang sepadan dan uang ganti rugi yang layak sebagai pengganti lembaga pendidikan itu. Lantas kemanakah warga setempat akan berlindung?
Mengutip pertanyaan Dosen politik perkotaan Universitas Indonesia (UI) Chusnul Ma'riyah, penguasa di Jakarta harus kembali lagi membaca ulang arah pembangunan Kota Jakarta. Untuk siapakah pembangunan di ibu kota?
The have not tersingkir dari pusat kota. Dengan demikian pertanyaannya, Kota Jakarta milik siapa?
Jakarta telah dikuasai oleh kapital yang terlihat dalam pembangunan superblok, apartemen, dan pembangunan perumahan elite. Di tempat-tempat pusat kota, pada akhirnya hanya dimiliki oleh kelompok elite the have saja.
Daerah-daerah reklamasi, daerah Pluit misalnya, yang merusak habitat lingkungan hutan mangrove tidak digusur bahkan sudah ada putusan MA. Namun, pemerintah dengan kekerasan menggusur kelompok warga miskin.