Ahad 23 Oct 2016 10:15 WIB

Wonder Woman, Ms Marvel, dan Kesetaraan Gender (?)

Ms Marvel (ilustrasi Kevin Wada), dan Wonder Woman (ilustrasi Gail Simone) dalam kostum paling sopannya.
Foto: comicon/dccomics
Ms Marvel (ilustrasi Kevin Wada), dan Wonder Woman (ilustrasi Gail Simone) dalam kostum paling sopannya.

Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menasbihkan seorang duta kehormatan untuk perjuangan kesetaraan gender. Bukan dari dunia nyata, tapi dari tokoh yang mula-mula muncul dalam lembaran-lembaran komik di Amerika Serikat 75 tahun lalu hasil pikir psikolog William Moulton Marston.

Dalam komik, perempuan tersebut bernama Diana, putri dari Ratu Hippolyta penguasa pulau Themyscira, pulau imajiner yang ditinggali oleh perempuan saja. Diana mula-mula dikisahkan terbentuk dari tanah liat atas permintaan Hippolyta. Artinya, Diana muncul tanpa keterlibatan pria manapun.

Ketika menjelang dewasa, Diana menemukan seorang pilot pesawat terdampar di pantai Themyscara, kemudian dapat izin mengantarkannya pulang ke Amerika Serikat. Singkat kata, ia kemudian hadir di dunia yang dikuasai lelaki dan kelak jadi pembasmi kejahatan dengan nama sandi Wonder Woman.

Narasi itu penting karena Marston menginginkan Diana menjadi sebuah simbol perjuangan pemberdayaan perempuan. Banyak gambar-gambar awal pada komik Wonder Woman memainkan simbolisasi tersebut, misal Wonder Woman kerap digambarkan melepaskan diri sendiri dari ikatan tali yang mengekang.

Sampai di sini, keputusan para petinggi PBB pekan lalu barangkali nampak absah. Tapi persoalannya tak sesederhana itu. Begini, mesti bukan seorang perempuan (yang jauh lebih punya hak bicara soal kesetaraan gender), saya membaca komik Amerika Serikat, banyak sekali. Saya ingin bicara dari segi itu dulu.

Sejak awal diperkenalkan, Wonder Woman adalah seorang tokoh kontradiktif. Oleh Ratu Hippolyta, ia sedianya diutus ke “dunia lelaki” sebagai duta perdamaian. Tapi namanya komik aksi yang sasaran utamanya remaja lelaki, diplomasi bukan jualan yang laku. Dari sini, muncul ironi bahwa Wonder Woman selalu bertempur sejak awal diterbitkan. Ia beralasan perdamaian terkadang perlu dipaksakan dengan kekuatan, adagium serupa yang dipakai Amerika Serikat melibatkan diri dalam perang-perang di dunia.

Sementara itu, sebagai tokoh yang akhirnya dimiliki oleh penerbit komik DC, penulis kisah Wonder Woman berganti-ganti dari masa ke masa. Tak seluruhnya patuh pada ideal yang dibayangkan Marston. Di antara perubahan yang paling mencolok muncul saat kisah Wonder Woman digawangi Brian Azzarello dalam serial "New 52" (2011-2012) atau interpretasi Mark Waid dan Alex Ross dalam "Kingdom Come" (1996).

Azzarello menghilangkan mitos bahwa Wonder Woman tercipta dari tanah liat, alih-alih anak hasil selingkuhan dewa Yunani Zeus dan Hippolyta. Azzarello juga menampilkan Wonder Woman yang lebih kejam dan siap menumpahkan darah. Pada titik ekstrem, di penghujung seri "New 52", Wonder Woman akhirnya membunuh dewa Yunani Ares dan mengambil alih peran sebagai dewi peperangan.

Sementara dalam "Kingdom Come", Wonder Woman digambarkan sebagai antitesis Superman yang relatif cinta damai. Mark Waid dan Alex Ross mencitrakan Wonder Women selalu terburu-buru mengambil langkah konfrontatif. Dalam kisah yang secara apik menggambarkan dilema hubungan adiwira (super hero) dengan manusia biasa itu, pada satu titik Wonder Woman bahkan menggunakan pendekatan fasistik dengan menganggap kaumnya lebih tinggi dari seluruh manusia biasa.

Katakanlah Wonder Woman memang adiwira perempuan pertama dalam tradisi komik Amerika Serikat, ia bukan gambaran terbaik secara estetika. Salah satu yang jadi keberatan utama para penolak penunjukan Wonder Woman sebagai duta kesetaraan gender adalah soal pakaiannya yang sejak awal selalu minim , bermotif bendera AS, dan menonjolkan tubuh hiperseksual yang tak masuk akal buat perempuan normal.

Pada saat diciptakan, tokoh Wonder Woman boleh jadi diangap gagah karena menentang tabu soal apa yang layak atau tidak dipakai perempuan. Tapi di dunia saat ini dengan eksploitasi tubuh perempuan yang sudah sedemikian banal (tidak elok), pakaian Wonder Woman justru seolah jadi penegasan soal fantasi laki-laki atas apa yang hendak mereka lihat dari perempuan.

Tapi bukannya semua adiwira perempuan harus seperti itu untuk bisa menjual? Tidak. Perkenalkan Ms Marvel dari penerbit saingan DC, Marvel Comics. Ia mulanya diciptakan penulis Roy Thomas pada 1977. Seperti Wonder Woman, Carol Denvers, pemegang mantel Ms Marvel, adalah seorang kulit putih juga, dengan baju yang keterlaluan sensual juga.

Tapi hal itu berubah pada 2013. Saat itu, seri Ms Marvel diambil alih penulis G Willow Wilson dan digambar Adrian Alphona. Carol Denvers dikisahkan mewariskan identitas adiwiranya kepada Kamala Khan, seorang remaja AS keturunan Pakistan dengan orang tua konservatif dan seorang abang pengikut aliran Salafi.

Yang menarik, G Willow Wilson yang juga seorang mualaf, tak menjadikan latar belakang Kamala yang sering jadi cibiran di AS sebagai peran antagonistik. Latar belakang budaya Kamala Khan dengan apik ia citrakan sebagai kekuatan tersendiri bagi remaja putri itu menemukan tempatnya di masyarakat AS dan dunia modern. Sebagai Muslimah, pakaian Kamala Khan tentu berbeda dengan adiwira lainnya dalam artian ia jauh lebih sopan.

Serial Ms Marvel sepanjang dipegang Wilson juga pepak dengan nada-nada feministik. Suara-suara pendukung hak perempuan itu kerap kali dimunculkan Wilson lewat Nakia Bahadir, karib Kamala yang berhijab penuh.

Ajaibnya lagi, cerita yang dituturkan Wilson ternyata relevan. Di AS, negara mayoritas non-Muslim, "Ms Marvel Volume 1: No Normal" yang menghimpun buku-buku pertama sejak dipegang Willow Wilson, jadi novel grafis dengan penjualan tertinggi di AS pada Oktober 2014. Volume keduanya berhasil merangsek posisi runner-up pemuncak daftar New York Times Best Seller. 

Tak hanya soal penjualan, Ms Marvel versi Wilson juga memenangi penghargaan ternama buku fantasi Hugo Award pada 2015 dan berulang kali masuk nominasi Eisner Award, penghargaan tertinggi untuk capaian komik Amerika Serikat.

Pihak PBB menyatakan bahwa mereka memilih Wonder Woman sebagai upaya mendekati kaum muda. Persoalannya, Wonder Woman sebenarnya sudah tua meski penampilannya awet muda. Ia sudah melanglang buana sejak Perang Dunia II. Sedangkan Kamala Khan dalam salah satu episode bahkan sempat mengajak Wolverine dan Spiderman ber-swafoto saat tengah beraksi. 

Dalam alur cerita "Generation Why" (2015), Wilson juga berupaya menampik anggapan bahwa Millenial adalah generasi sampah. Dalam alur cerita itu, Kamala mengajak sekelompok remaja melek gawai mengalahkan adipenjahat sembari menanamkan pesan bahwa mereka bisa mengubah dunia.

Artinya, PBB punya pilihan lain. Jika saya diminta memilih siapa yang harus dijadikan contoh dua putri saya, saya akan dengan lekas menunjuk Kamala Khan. Sebagai orang tua, agak kurang elok saya menunjuk seorang perepuan kulit putih berpakaian minim dengan tubuh yang dirancang guna memenuhi fantasi lelaki sebagai contoh kesetaraan bagi putri-putri saya. Apakah pantas saya memelihara kesan budaya imperialistik dan rasis bahwa anak-anak saya yang merupakan perempuan-perempuan Asia harus mengekor seorang kulit putih untuk mencapai kemajuan? Bagaimana bisa saya meminta anak-anak saya mencontoh seorang perempuan yang dijual lewat komik dan film untuk keuntungan lelaki-lelaki yang menguasai DC dan Warner Bros?

Lebih baik lagi, saya akan mengambil contoh dari perempuan-perempuan “nyata” seperti Fatimah Alfihri yang bukan sekadar perempuan tapi juga “manusia” pertama yang menemukan konsep perguruan tinggi di Maroko (pada abad ke-9!). Mau yang masih hidup? Bagaimana dengan Malala Yousafzai, seorang  gadis Pakistan yang melawan peluru Taliban untuk menunaikan kewajiban memperoleh pendidikan seperti yang diperintahkan Allah dalam Alquran. Sementara Indonesia juga tak pernah kekurangan pejuang perempuan dari Laksamana Malahayati pada masa lalu hingga Butet Manurung saat ini. 

Pada akhirnya, kesetaraan gender adalah konsep yang kompleks. Ia bisa punya banyak arti, dan mengambil jalur berbeda di lain-lain tempat. Ia juga penuh miskonsepsi, sebab itu butuh seorang (perempuan) yang sangat artikulatif meluruskan kesalahpahaman, bukan seorang tokoh komik yang bicara sendiri saja tak bisa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement