REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Wartawan Republika, Mohammad Akbar
Sepekan ini, perhatian kita disedot kepada tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar. Dalam tulisan ini, bukan kapasitas saya untuk menelaah konflik yang kabarnya memunculkan genosida terhadap Muslim Rohingya. Sekali lagi, bukan itu!
Melalui tulisan ini, perhatian saya justru tersedot dengan bertebarannya berita perihal rencana Timnas Malaysia yang berniat menarik diri dari Piala AFF 2016. Pada edisi kali ini, turnamen yang diikuti delapan timnas dari negara kawasan ASEAN itu digelar di Filipina dan Myanmar.
Wacana mundurnya Timnas Malaysia dari Piala AFF ini kali pertama disampaikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Malaysia, Khairy Jamaluddin. Secara lugas, Khairy mengatakan,"Apa artinya olahraga tanpa kemanusian? Itu (pembantaian etnis Rohingya) adalah kekejaman ekstrim terhadap salah satu kelompok etnis manusia. Dan mereka (Myanmar) melakukannya terhadap Muslim."
Menilik kapasitasnya, pernyataan itu tentu sangat menarik untuk dikonsumsi media. Tentunya, jangan tanyakan dulu motifnya. Apakah sang menteri itu bersungguh-sungguh memberikan support kepada saudara seiman yang sedang teraniaya atau justru terselip agenda politis seperti kebanyakan pejabat publik di negeri ini yang kerap mencuri-curi kesempatan untuk mengerek citra diri. Saya hanya berusaha husnuzon alias berbaik sangka saja.
Pernyataan dari Menpora Malaysia itu sesungguhnya bisa menjadi ruang refleksi bagi komunitas sepakbola di negeri ini. Mengapa harus berefleksi diri? Paling tidak, jika ukuran kasat matanya merujuk pada jumlah populasi umat Muslim di kedua negara, Malaysia dan Indonesia.
Mengutip informasi dari laman resmi CIA, penduduk Malaysia yang beragama Islam itu sebanyak 61,3 persen dan Budha sebanyak 19,8 persen. Budha merupakan agama mayoritas di Myanmar. Sementara penduduk muslim di Indonesia tercatat sebanyak 87,2 persen. Lalu pertanyaan sederhana muncul: mengapa suara protes terhadap Myanmar itu justru tak terdengar dari komunitas sepakbola Indonesia?
Padahal, kalau ingin jujur, komunitas sepakbola negeri ini bukanlah komunitas yang alergi untuk menyampaikan pandangannya terkait persoalan geopolitik semacam Rohigya. Masih belum hilang dari ingatan kita bagaimana suporter Indonesia pernah memberikan dukungannya kepada kemerdekaan rakyat Palestina yang dijajah oleh Israel. Aksi dari suporter Pasoepati itu dilakukan ketika Timnas Indonesia menjamu Malaysia pada laga persahabatan yang digelar di Stadion Manahan Solo pada September silam.
Lalu jika ditarik ke dalam kerangka filosofi fairplay yang didengungkan oleh FIFA, sesungguhnya di dalam sepakbola itu dianjurkan juga untuk bersikap menghormati lawan serta memberikan dukungan kepada siapapun yang berupaya mengenyahkan tindakan curang dalam pertandingan. Dua hal ini menjadi sekelumit dari rumusan fairplay yang tertuang di dalam Golden Rule FIFA.
Jadi, marilah kita menyikapi wacana protes Malaysia kepada pemerintah Myanmar itu dengan bingkai semangat fairplay dalam sepakbola. Sesungguhnya, sepakbola menganjurkan juga kepada kita semua untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan. Dan, apa yang terjadi di pada etnis Rohingya di Myanmar itu sesungguhnya sebuah bentuk pencideraan terhadap nilai kemanusian itu sendiri.
Jadi, masihkah komunitas sepakbola di kawasan ASEAN ini harus merasa alergi dan bersikap diam seribu bahasa terhadap pembantaian etnis Rohingya yang terjadi di Myanmar? Rasanya, gelaran Piala AFF kali ini bisa menjadi ruang efektif untuk menyuarakan protes. Indonesia sepatutnya bisa mengambil peran seperti halnya Malaysia untuk menyuarakan protesnya. Dan sepatutnya, protes itu jangan disampaikan ketika skuat Garuda itu telah angkat koper dari Piala AFF 2016.