Sabtu 14 Oct 2017 08:00 WIB

Masihkah Belanda Disegani?

Frederikus Bata
Foto: doc
Frederikus Bata

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Frederikus Bata

Julukan juara tanpa mahkota untuk tim nasional Belanda pernah nyaring terdengar. Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, skuat De Orange rajanya sepakbola Indah.

Hingga muncul Istilah total football yang identik dengan negeri  kincir angin ini. Ya, Katalonia boleh punya tiki-taka, Belanda juga bisa, meski berbeda kata. Intinya, konsep permainan menyerang dengan pergerakan tanpa bola secara konsisten di setiap lini.

Bek pun bisa bermain di kotak penalti lawan. Begitupun ketika di serang, para striker dan gelandang menjadi tembok. Pada praktiknya ada pergerakan sederhana tapi susah ketika dilatih.

Membutuhkan kecepatan berpikir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan rekan, sehingga jarak antar pemain selalu berdekatan. Itu membuat operan bola pendek kerab terlihat. Sihir sepakbola kreatif nan efektif pernah dimiliki Belanda.

Hasilnya, dua kali De Orange menembus final Piala Dunia pada dekade 70-an hingga 80-an. Nama-nama seperti Johan Neeskens, Johan Cruyff, benderang pada edisi 1974. Empat tahun berselang, ada aktor bernama Rob Rensebrink. Kala itu Rensebrink diberi beban sebagai kreator lantaran Cruyff mendadak pensiun sebelum kompetisi dimulai.

Itu cerita singkat ganasnya negeri kincir angin pada masa lalu. Secara de facto gagal merengkuh kilauan trofi. Namun dunia menaruh respek pada mereka. Ada permainan indah dengan hasil setara.

Namun, belakangan, sihir Belanda mulai memudar. Teranyar salah satu negara elite dalam jagat sepakbola itu gagal ke Rusia. Tiket Piala Dunia 2018 hilang, lantaran kalah bersaing dengan Swedia dan Perancis di Kualifikasi Grup A.

Padahal, jika ditilik empat tahun ke belakang, hasil usaha pasukan Orange di Brasil cukup apik. Kala itu Robin van Persie dan rekan-rekan finish di posisi ketiga Piala Dunia 2014. Tuan rumah pun dihajar tiga gol tanpa balas.

Kendati demikian, setelahnya, mulai terlihat tanda-tanda kemunduran. Pada Piala Eropa 2016, Belanda tak turut serta. Saat kualifikasi, tim tersebut ditaklukkan negara baru di dunia si kulit bundar, Islandia.

Kemirisan makin terasa, saat kualifikasi Piala Dunia 2018. Negeri kincir angin mulai kikuk kala menghadapi lawan setara. Perancis jadi salah satu penakluk De Orange.

Berkaca pada kekuatan tim, sah-sah saja, jika prestasi Belanda menurun. Beberapa andalan macam Arjen Robben mulai menua. Robben telah memutuskan pensiun dari timnas.

Kemudian Virgil van Dijk cuma berada di klub semenjana (Southampton). Dick Advocaat kembali mempercayai Ryan Babel yang kini merumput di Besiktas. Kiper 36 tahun, Maarten Stekelenburg bahkan masih dipanggil.

Terlihat regenerasi belum berjalan maksimal. Pemain muda yang digadang-gadang bakal besar semacam Mempis Depay masih adem ayem. Pernah merumput di klub sekelas Manchester United, kini Depay berkostum Olympique Lyon.

Apapun yang terjadi, memasukkan Belanda ke dalam para elite dunia menjadi tanda tanya. Masihkah De Orange disegani?. Secara nama besar respek tetap terjaga. Namun gagal ke Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018 bukti sebuah kemunduran.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement