Ahad 03 Dec 2017 05:03 WIB

Keriangan Korban Terorisme

Erdy Nasrul, Jurnalis Republika
Erdy Nasrul, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul

Trinity berlari kecil, lalu duduk di karpet Ballroom Hotel Kartika Chandra Rabu (29/11). Bocah empat tahun itu tampak riang. Sesekali dia duduk di pangkuan bibinya yang selalu mendampingi anak ketiga Sarina Gultom (44 tahun) itu.

Sesekali Sarina berbisik kepada anak berambut lurus itu. “Duduklah, Nak,” pintanya dengan suara lembut. Trinity menuruti perintah itu. Dia duduk di kursi berlapis kain hitam di samping sang ibu yang melahirkannya.

Di usianya yang masih kanak-kanak, Trinity sudah mengalami luka di tangan kiri, kaki, dan sedikit di wajah. Luka itu bukan diakibatkan ulahnya, tapi orang lain, yaitu pelaku terorisme.

Anak bungsu itu adalah korban ledakan bom di Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur pada 2016. Aksi keji itu telah mengakibatkan Trinity harus mengalami luka sehingga tangannya tak lagi berbentuk seperti sedia kala.

Ketika insiden penuh kutukan itu terjadi, cucuran air mata tanda kesedihan membasahi wajah Sarina dan keluarga besarnya. Mereka tak tega melihat anak lucu itu menahan sakit tak terhingga akibat ledakan bom.

Pada awal November anak itu menjalani pengobatan ke Guang Zhou Cina. “Nanti kami akan ke sana lagi untuk pengobatan lanjutan,” ujar Sarina penuh senyuman.

Trinity merupakan salah satu dari tujuh korban tindak pidana terorisme kasus bom Samarinda yang menerima kompensasi, atau ganti rugi dari negara. Nasibnya jauh lebih beruntung bila dibandingkan ratusan korban terorisme lainnya.

Jumlah bantuan untuk semuanya mencapai Rp 237.871.152. Kompensasi tersebut diserahkan negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai implementasi amanat Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Ini merupakan pertama kalinya negara secara resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan memberikan bantuan kepada korban terorisme.

"Ini merupakan salah satu amanat yang tertuang dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban," ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, usai membuka Seminar "Mendorong Implementasi Penanganan Korban Kejahatan di Indonesia yang Terintegrasi", di Jakarta, Rabu (29/11).

UU Nomor 31 Tahun 2014 juga menambahkan bentuk bantuan psikologis, selain bantuan medis dan psikososial. Kebijakan ini juga memberikan kewenangan kepada LPSK untuk melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana.

Korban baru mendapatkan bantuan setelah melalui proses panjang. LPSK akan bersinergi dengan penyidik Polri dan jaksa untuk memasukkan persoalan bantuan tersebut dalam berkas perkara tersangka atau pun terdakwa terorisme. Kemudian hakim akan memutuskan berapa besaran kompensasi yang harus diberikan negara.

Namun prosedur seperti ini masih menyisakan persoalan. Jika tersangka teroris ditembak mati, tak akan ada proses peradilan, kecuali ada tersangka lain yang ditangkap hidup-hidup dan terbukti terlibat dalam satu jaringan terorisme. Kalau sudah bergitu, maka bagaimana hakim bisa memutuskan besaran bantuan yang harus diberikan negara?

Tak hanya itu, bagaimana dengan korban teroris sebelum bom Samarinda yang berdampak besar, seperti bom Bali, korban bom kedutaan besar Australia, dan lainnya. Apakah mereka bisa menerima bantuan dari negara padahal sidangnya sudah selesai? Ini masalah yang harus dipikirkan.

Kejadian aksi teror menandakan pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat. Korban berjatuhan. Kerugian dialami masyarakat dari berbagai segi. Tentu negara harus bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi.

Pelaku kejahatan, termasuk di dalamnya teroris, juga wajib memberikan ganti rugi. Bukan hanya mendekam di penjara, mereka juga harus bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang mengalami kerugian akibat kejahatannya.

Korban merupakan pihak dalam proses hukum yang mengalami penderitaan fisik maupun mental. Dia menderita kerusakan, luka atau segala bentuk kerugian ekonomi, sosial, politik maupun budaya.

Munculnya korban kejahatan merupakan pertanda ada pihak yang tidak menghormati hak hidup orang lain dengan beragam motif. Ada yang bermotif kecemburuan, dendam, sakit hati, dan lainnya. Semua itu tidak menjadi pembenaran bagi siapa pun untuk melakukan kejahatan.

Dulu korban kejahatan hanya dimintai keterangan. Mereka hanya mendapatkan bantuan dari masyarakat yang peduli kepada mereka. Ada beberapa lembaga swadaya mendampingi mereka mengikuti proses hukum.

Setelah itu, tak adalagi bantuan untuk kelangsungan hidup. Mereka harus menahan penderitaan dikucilkan, bahkan dihina masyarakat sekitar. Mereka harus jatuh miskin, karena harus kehilangan pekerjaan.

Tubuh mereka yang sudah tak seperti semula tak mampu lagi untuk bekerja. Banyak korban terorisme yang mengalami hal ini. Hidup menderita seakan tak bisa lepas dari kehidupan mereka sehari-hari.

Sudah sejak lama negara tidak memiliki aturan mengenai mekanisme pemberian bantuan kepada korban terorisme. Dulu, mereka baru bisa menerima bantuan setelah mendapatkan keterangan miskin. Tentu hal tersebut dilakukan melalui verifikasi pemerintah.

Kini, tanpa harus mendapat keterangan miskin, mereka sudah bisa mendapatkan bantuan. Bentuknya adalah ganti rugi dari pemerintah. Dengan demikian, hak mereka melanjutkan kehidupan, terpenuhi. Korban terorisme dapat melanjutkan pendidikannya dan berkreasi untuk kehidupan yang lebih baik.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement