Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika
Pepatah 'tong kosong nyaring bunyinya' (empty vessels make the most noise), sejatinya merupakan konsep filosofis yang cukup dalam maknanya. Konon pepatah ini pertama kali dipopulerkan oleh Plato sejak berabad sebelum masehi.
Namun sejarah tersebut masih dhaif. Sebab tak cukup banyak literatur yang mengulas sejarah dari Plato dan tong kosong ini.
Satu hal yang jelas, pepatah tong kosong ini merupakan konsepsi nyata atas kenyataan tingkah polah manusia lintas peradaban. Ya, tak peduli zaman berubah tapi sifat manusia masih tetap sama.
Alat boleh canggih, tapi tong kosong tetap nyaring bunyinya. Bahkan di era media sosial ini, bunyi tong kosong semakin menggema.
Hanya dengan akun media sosial, seseorang bisa terlihat pintar bak seorang ustaz. Tapi terkadang ustad di sosial media itu hanya bermodal lima menit menjamah kitab riwayat syekh Google.
Di sosial media memang banyak yang terlihat garang bak harimau Sumatra. Padahal kenyataannya hanya sekadar macan Cisewu. Duh celaka!
Lagi-lagi kisah soal tong kosong ini memang banyak tersaji akhir-akhir ini. Hanya dengan bekal followers banyak, mereka dengan mudahnya membuat provokasi, agitasi, bahkan fatwa-fatwa.
Kembali ke filosofi soal tong kosong, sejatinya pepatah populer ini punya makna yang dalam. Sebab, saat seseorang tak cukup diisi bekal keilmuan maupun bekal nilai-nilai di dalam dirinya, output yang mereka hasilkan biasanya omong kosong belaka.
Tidak hanya berbicara nyaring tapi tak berisi, konsepsi tong kosong yang berbunyi nyaring juga mewakili seorang yang minimnya aksi, edukasi, dan kekosongan hati. Sehingga saat berurusan dengan 'tong kosong' ini tak ada sisi produktivitas yang bisa dihasilkan. Sebaliknya malah menciptakan keributan yang tak keruan.
Sengaja saya membuka bahasan ini dengan membahas soal tong kosong. Sebab akhir-akhir ini ruang publik banyak yang diisi oleh perdebatan yang kurang produktif dan hanya menghasilkan kegaduhan. Ini terutama di media sosial yang mana banyak melahirkan aktor-aktor yang tak kita tahu asal muasalnya. Tiba-tiba dia mengaku mewakili ormas tertentu, tiba-tiba mengaku ustaz, tiba-tiba memberi fatwa soal agama.