REPUBLIKA.CO.ID, Pengganti Novanto disarankan sosok yang bersih.
Ada dua ‘warisan’ yang ditinggalkan Setya Novanto setelah menjadi tersangka untuk kedua kalinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el). Yaitu, ketua DPR dan ketua Partai Golkar.
Dua jabatan itu disandangnya secara bersamaan. Novanto menjadi ketua DPR sejak 2014. Kemudian, ia sempat digantikan oleh Ade Komaruddin pada 2016 lalu karena Novanto tersangkut kasus ‘papa minta saham’. Namun, jabatan itu kembali direbutnya pada tahun yang sama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan rekaman percakapan Setya Novanto terkait kasus ‘papa minta saham’ itu tidak sah. Dan, DPR kembali merehabilitasi namanya.
Kemudian, pada 2017, Novanto tersangkut kasus korupsi KTP-el, dia pun ditetapkan sebagai tersangka. Upaya pencopotan dirinya sebagai ketua DPR juga ramai pada waktu itu. Namun, Novanto tetap bertahan, apalagi gugatan Novanto atas penetapan status tersangka itu melalui praperadilan diterima.
Namun, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka pada pertengahan November 2017. Upaya pencopotan Setnov pun kembali bergema. Baik sebagai ketua DPR maupun sebagai ketua umum Partai Golkar yang disandangnya sejak 2016 lalu.
Sekarang, isu pencopotan Novanto tetap bergema. Apalagi, banyak pengurus dan kader Golkar yang menginginkan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) dilaksanakan untuk mengganti Novanto. Munaslub itu selain membahas pergantian ketua umum Partai Golkar juga membahas siapa pengganti Novanto sebagai ketua DPR.
Namun, Novanto tidak tinggal diam. Dari balik penjara KPK, dia mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Surat itu dikirim di tanggal yang berbeda namun pada bulan yang sama, Desember.
"Surat pengunduran diri Pak Novanto ada tanggal 4 Desember dan 6 Desember yang ditujukan kepada pimpinan DPR dan sekaligus dalam surat pengunduran diri itu menujuk Aziz Syamsuddin (sebagai ketua DPR)," ujar Wakil Ketua MKD DPR Sarifuddin Sudding, Senin (11/12).
Surat tersebut diantarkan oleh Ketua Fraksi Golkar DPR Robert J Kardinal. Dua surat berbeda itu ditandatangani oleh Novanto dan Novanto bersama Sekjen Golkar --kini Plt Ketum-- Idrus Marham.
Namun, surat penunjukan itu telah beredar beberapa hari sebelumnya di kalangan internal Partai Golkar dan membuat heboh. Sebab, kebanyakan menolak penunjukan langsung itu.
Ketua Umum Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, Agung Laksono, mengatakan, pergantian ketua DPR sebaiknya harus menanti Munaslub Partai Golkar selesai dilaksanakan. Keputusan strategis untuk mengganti ketua DPR harus berdasarkan legitimasi kuat dari ketua umum Partai Golkar.
“Penunjukan atas Aziz atau nama lainnya sebaiknya harus melalui mekanisme keputusan parpol,” kata Agung, Ahad (10/12).
Jika tidak, kata dia, maka keabsahan keputusan (penunjukan) tersebut bisa diragukan. Tentu sangat berbahaya sekali jika itu terjadi di sebuah lembaga negara yang sangat penting DPR.