Jumat 20 Apr 2018 14:21 WIB

Dosen Asing dan Nasionalisme

Dosen impor bisa menjadi pengajar tetap di universitas dalam negeri.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Esthi Maharani, wartawan Republika

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal ini berdampak pada sejumlah kebijakan, salah satunya di bidang pendidikan. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) meresponsnya dengan rencana mendatangkan dosen-dosen asing. Nantinya, dosen asing bisa menjadi pengajar tetap di universitas dalam negeri dan tidak lagi menjadi dosen tamu. Dosen yang diimpor diisyaratkan memiliki pemahaman dan ahli di sejumlah bidang seperti ilmu alam, mesin, teknologi, atau matematika.

Data dari Kemenristekdikti menunjukkan saat ini sudah ada 30 dosen asing mengajar di Indonesia. Rencananya, akan ada 200 dosen asing yang diimpor ke Indonesia. Jangan salah, peminatnya pun sudah mengantri. Sebut saja Australia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Kebutuhan terhadap dosen memang tak bisa lagi dipungkiri lagi. Data tahun 2014/2015 saja menunjukkan ketimpangan antara jumlah dosen dan mahasiswa, baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tercatat, jumlah mahasiswa PTN 1,9 juta dan PTS 3,9 ribu. Sedangkan jumlah dosen di  PTN 63.704 dan PTS 108.067 dosen.

Banyak pihak yang setuju dengan impor dosen asing. Memang, kedatangan dosen asing, dapat memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan. Sebut saja dosen asing bisa memajukan riset Indonesia, memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di Indonesia, bahkan kemungkinan bisa ikut meningkatkan kualitas dosen di tanah air dan membuat universitas di Indonesia go international.

Yang paling penting adalah kejelasan posisi dosen asing di Indonesia. Rektor UGM, Panut Mulyono berpendapat keberadaan dosen asing bisa digunakan sebagai katalisator dan pendorong agar Indonesia menjadi lebih maju.

“Utamanya adalah bagaimana agar dosen asing itu ketika berada di Indonesia membawa network mereka, jejaring mereka yang ada di luar negeri, lalu bisa meramaikan riset di Indonesia," ujar Panut, Kamis (11/4).

Panut menegaskan dosen-dosen di Indonesia memiliki kemampuan dan kualitas yang tidak kalah dengan dosen asing. Hanya saja, mereka belum sepenuhnya fokus sebagai ilmuwan di dalam internal kampus. Sebab, mereka banyak diberikan tawaran dari luar kampus yakni untuk membantu pemerintah maupun industri. Dengan demikian, perguruan tinggi di Indonesia kurang fokus untuk mengembangkan riset di internal kampus. Di sisi lain, Panut menekankan bahwa dosen-dosen ahli di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni dan mempunyai kemampuan untuk memajukan bangsa.

Meski ada banyak dukungan untuk kedatangan dosen asing, tetapi saya berpendapat pemerintah tetap harus ekstra hati-hati. Bukan tak mungkin timbul kecemburuan di dunia akademisi. Siapa yang bisa menjamin pemerintah tak pilih kasih dan memberikan perlakukan berbeda antara dosen Indonesia dan dosen asing. Apalagi hingga saat ini, aturan ataupun mekanisme untuk dosen asing belum benar-benar selesai dibuat. Yang jangan sampai kelupaan adalah pentingnya proses adaptasi dosen asing dengan budaya Indonesia serta kekhawatiran tentang goyahnya nasionalisme di sektor pendidikan.

Saya jadi ingat perdebatan tentang tentang teori-teori nasionalisme. Sedikit menilik sejarahnya, perdebatan tentang teori-teori nasionalisme sudah dimulai sejak awal 1930-an dengan tokoh utamanya sejarawan Prancis Ernest Renan. Ia menolak konsepsi-konsepsi popular yang merumuskan bangsa-bangsa dalam kerangka ras, bahasa, dan agama. Menurut Renan dalam What is a Nation?, hal-hal yang menciptakan suatu bangsa adalah 'a common heroic past, great leaders, and true glory'.

Perdebatan itu dilanjutkan Karl Deutsch di Amerika Serikat pada dekade 1970-an dengan pendekatan komunikasi. Lewat Nationalism and Sosial Communications, ia menyebut proses nation building didorong oleh komunikasi social yang meningkat melalui urbanisasi, mobilisasi, asimilasi, dan pendidikan. Perkembangan terakhir dalam teori nasionalisme terjadi pada 1983-an dengan terbitnya karya-karya Ernest Gellner, Anthony Smith dan Benedict Anderson yang memusatkan pada ‘the origin of nations’.

Kelemahan dari teori-teori tersebut adalah pemisahan antara proses ‘nation building’ dengan proses ‘state building’ khususnya peranan dari lembaga-lembaga politik. Pada 1960-an berkembang teori pembangunan politik dari Gabriel Almond yang menjelaskan peran sentral dari lembaga-lembaga politik dalam pembangunan politik.

Ide nasionalisme tidak dengan sendirinya tersebar luas tanpa peranan dari lembaga seperti birokrasi lembaga pendidikan, partai politik, dan lembaga komunikasi dan transportasi.

Charles Tilly menambahkan tentang pentingnya ketahanan pangan, lembaga keuangan dan fiscal serta lembaga keamanan seperi polisi dan intelijen untuk negara bangsa yang modern. Dengan kata lain, lembaga dan sistem pendidikan nasional adalah alat yang dipakai untuk menumbuhkan nasionalisme dan mampu mengintegrasikan bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

Saya pun hanya ingin bertanya: apakah dengan adanya dosen asing di lembaga pendidikan yang notabene adalah alat untuk integrasi dan pembentukan nasionalisme tidak akan dimanfaatkan atau bahkan disusupi kepentingan lain?

Ah, mungkin saya saja yang terlalu curiga. Semoga saja tidak. Tapi, itu mungkin saja kan?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement